Tembi Rumah Budaya - Tembi Cultural Home
- Beranda
- Berita
- Acara
- Tentang Tembi
- Bale Karya
- Bale Rupa
- Bale Inap
- Museum
- Komunitas Tembi
- Temen
- Video
- Kontak Kami
SaUnine String Orchestra
Simak Sa'Unine String Orchestra di tab Read More...
Komunitas Tembi di Facebook
Komunitas Tembi juga hadir di facebook. Silakan bergabung dan berinteraksi dengan Komunitas Tembi Read More...
Kirimkan Artikel anda mengenai Keragaman Budaya Indonesia
Sebagai komunitas Budaya Indonesia , Tembi Rumah Budaya menerima kiriman artikel bergambar/berfoto yang akan ditampilkan di website kami pada kolom Artikel Read More...
Ingin Menginap dengan suasana pedesaan yang alami
Ingin menginap dan berwisata di rumah bernuansa pedesaan dengan pemandangan alam yang hijau , sawah yang indah, kolam renang yang jernih?menginaplah di Tembi dapatkan wisata dengan ketenangan dan kesejukan alami.Hubungi kami untuk pemesanan waktu dan tempat. Read More...
update Tembi.net di twitter
Dapatkan update Tembi.net dan informasi-informasi lainnya paling awal di twitter @tembibudayanews Ayo.... follow sekarang juga. Read More...
Tulis Kesan dan Testimonial anda tentang Tembi Rumah Budaya
Kirimkan kesan atau testimonial anda yang positif tentang Tembi Rumah Budaya. Semoga kesan serta testimonial anda dapat terus membuat kami melayani anda lebih baik. Read More...
Bergabunglah bersama Komunitas Tembi dapatkan fasilitas menarik
Komunitas Tembi adalah komunitas yang terbentuk untuk melestarikan budaya sekitar. Dengan melalui wadah Tembi Rumah Budaya diharapkan semua komunitas ini dapat berperan aktif dalam melestarikan Budaya. Baik dalam sumbangsih penulisan artikel, kegiatan , acara sosial, dll. Read More...
Kedamaian dalam Kesederhanaan Alami
Kalau Anda ingin menikmati suasana desa alami yang sederhana. Ingin merasakan suasana kedamaian jauh dari bisingnya kota. Ingin menikmati makanan Jawa masalalu yang sederhana? Cobalah nikmati prasarana Bale Inap yang menampilkan rumah kayu lama gaya limasan, landscaping asri dan di kelilingi area persawahan organik. Read More...
Tempatkan iklan Anda di sini
Anda ingin menempatkan iklan untuk produk dan jasa? Silahkan hubungi kami. Read More...
Lost Password ?Kini kita mengenal pasar modern, yang sistemnya berbeda dari pasar tradisional. Pada pasar modern, tidak ada transaksi antara pembeli dan penjual. Bahkan, dalam pasar modern, penjual atau pemilik tidak berhubungan langsung dengan pembeli. Yang ditemui di pasar modern hanyalah barang-barang dan pelayan atau yang sekarang dikenal dengan istil SPG (sales promosion gils). Konsumen mengambail barang yang diperlukan dan SPG melayaninya di kasir. Tak ada transaksi. Harga sudah tertera, tak bisa ditawar.
Merespon sistem pasar modern dalam bentuk mall, supermarket atau mini market yang merebak di kota-kota di Indonesia, Bentara Budaya Yogyakarta menyelenggarakan pameran dengan mengusung tema ‘Pasar Ilang Kumandhange’. Sejumlah 26 perupa merespon tema tersebut melaui karya. Tentu saja, setiapperupa memiliki respon yang berbeda-beda dan pilihan visualnya juga berlainan. Kebanyakan memang menggunakan kanvas untuk meresponnya, tetapi ada juga yang membuat instalasi, meski tidak langsung menunjuk pada pasar tradisional, tetapi dari pilihan simbol yang diamabil, orang segera tahu, bahwa karya yan diciptakan mengambil sikap kritis terhadap pasar modern. Misalnya, karya Kik Wahyu Peshang yang diberi judul ‘Doa-doa Kematian’ menggunakan bahan daun pisang yang dibentuk menyerupai gunung, atau berupa bangunan yang di tubuhnya, terbuat dari daun pisang, diberi cap telapak tangan warna merah. Wahyu seperti hendak berucap, daun pisang tidak lagi dikenali di pasar modern. Sudah digantikan oleh palstik dan kertas.
Ada juga pasar politik yang memperburuk ‘kumandang’ (gema), yang diwujudkan dalam visual bangunan gedung DPR terbuat dari not balok. Karya Yayat Surya ini berjudul “Simfoni #560”. Angka 560 kiranya menunjuk jumlah anggota DPR, yangcelakanya ‘iramanya’, hampir-hampir tidak memberi harapan pada rakyat yang diwakilinya. Gedung DPR versi Yayat Surya ini tak ubahnya seperti pasar tradisional yang penuh transaksi, tetapi ‘kumandang’nya tidak membuat rakyat yang diwakili sejahtera. Karya Yayat Surya ini memberikan pesan kontradiksi antara bangunan gedung yang modern, tetapi sistem didalamnya menyerupai pasar tradisional: penuh transaksional.
Pameran seni rupa “Pasar Ilang Kumandhange” untuk memperingati 29 tahun Bentara Budaya Yogyakarta, tidak hanya merespon soal ekonomi, tetapi juga merespon persoalan politik. Karena ‘kumandhang’ politik yang bertanggung jawab pada masa depan bangsa tidak lagi terdengar. Karena itu ‘pasar politik’ telah kehilangan ‘kumandhang’. Memang, sebagian besar perupa memahami pasar sebagai lembaga pertukaran ekonomi, dan mendikotomikan antara pasar tradisional dan pasar modern. Dua jenis pasar tersebut memiliki perbedaan sistem dan kultur. Pasar sebagai ruang interakasi sosial, bisa ditemukan pada pasar tradisional, tetapi susah menemukannya di pasar modern.
Karya-karya yang dipamerkan semuanya meletakkan pasar tradisional telah tergeser oleh pasar modern, sebagai bentuk dari ‘ilang kumandhange’. Memang tidak ada visual pasar tradisional yang tidak lagi ‘berkumandang’ dihadirkan, tetapi setidaknya ada visual yang identitasnya dikenali selalu berada di pasar tradisional, visual itu berupa timbangan karya Rifqi Sukma dan diberi judul ‘The Metric of Distance’. Judul yang menggunakan istilah bahasa asing dengan sendirinya telah ‘mengasingkan’ timbangan itu sendiri. Apalagi, visual timbangan tidak memiliki latar belakang visual sebagai konteks, tetapi timbangan dihadirkan sendirian dan hanya diletakan di atas meja. Jadi, pasar tradisional betul-betul sunyi sebagaimana timbangan yang sendirian.
Perihal ‘Pasar Ilang Kumandhange’ Sindhunata, yang ikut menyiapkan pameran seni rupa ini menuliskan diantaranya bisa disimak berikut ini:
“Pasar Ilang Kumandhane adalah suara sayup-sayup yang terdengar dari balik timbunan reruntuhan pasar-pasar tradisional. Reruntuhan itu diinjak-injak oleh mahkluk-mahkluk yang aneh. Rupanya, mereka seperti polisi-polisi pamong praja. Membawa pentung dan berseragam. Tapi kepala mereka adalah alat keruk. Dengan alat keruk itu mereka meratakan pasar-pasar dan lapak-lapak tradisional sampai rata dengan tanah. Sementara kepalanya sendiri berubah menjadi topeng yang dipegangi dengan tangan kanannya. Topeng ini rasanya dipakai untuk mengancam dan menakut-nakuti rakyat yang menentangnya. Punggung manusia aneh ini terbungkuk-bungkuk membawa maket aparSa’Uninet, supermarket dan mall. Tampaknya demi pembangunan aparSa’Uninet, supermatket dan mall inilah mereka mengeruk dan menghancurkan pasar-pasar tradisional”.
Agaknya, Bentara Budaya Yogya menyadari, bahwa selama ini, kehadirannya sebagai ‘lembaga kebudayaan’ di Yogya tidak bisa dilepaskan dari persoalan masyarakat. Salah satu persoalan yang semakin ‘hilang’ di Yogya adalah tergusurnya pasar tradisional. Namun rupanya, persoalan pasar tradisional bukan hanya persoalan lokal Yogya, melainkan menyangkut persoalan ekonomi dan politik pada tingkat nasional. Maka, pada ulang tahunnya yang ke 29, Bentara Budaya Yogya, mengajak perupa ‘menyuarakan’ persoalan masyarakat melalui issue pasar tradisional.
Dari konteks pameran , rupanya, Bentara Budaya Yogyakarta, dalam ultahnya yang ke 29, hendak (kembali) mengatakan kepada publik bahwa sebagai lembaga kebudayaan bentara memiliki komiSa’Unine terhadap masyarakat yang tidak berdaya. Pasar tradisional yang ‘ilang kumandhange’ adalah simbol dari masyarakat yang tidak berdaya itu.
Ons Untoro
Pariwara Penghargaan Sapta Pesona 2010
Museum Tembi Rumah Budaya menerima penghargaan Sapta Pesona 2010
Piagam penghargaan Tembi.org dari Menristek Hatta Rajasa pada tahun 2004
Piagam penghargaan Tembi.org dari Menristek Hatta Rajasa pada tahun 2004
Cipta Award 2011
TeMBI rumah budaya
sebagai
Finalis
Dalam Pengelolaan Daya Tarik Wisata Budaya Berwawasan Lingkungan Tingkat Nasional
Penginapan Tembi
Nikmati Keindahan dan nyamannya suasana pedesaan, menghilangkan stress
Sa' Unine
String Orchestra
Harga CD Rp 90.000,-
Belum termasuk ongkos kirim
Pemesanan hubungi Titin di
08561152733 atau 021-7253410 / 021-7203055
Klik Disini Untuk Mendengarkan
PITUTUR LUHUR LELUHUR
Baru Terbit !!!
PITUTUR LUHUR LELUHUR
Buku kumpulan pepatah Jawa yang diterbitkan Tembi Rumah Budaya untuk mengangkat kembali nilai-nilai lokal yang masih relevan dengan kondisi kekinian.
Dapatkan segera di:
Tembi Rumah Budaya
Jl. Parangtritis Km 8,4 Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta
Telp. (0274) 368000 atau 368004
Tembi Rumah Budaya
Jl. Gandaria I / 47B Kebayoran Baru
Jakarta Selatan
Telp: (021) 7203055, 7253410
Harga Rp 35.000,-
Kidung Malam
Novel KIDUNG MALAM terbitan terbaru dari Tembi Rumah Budaya, merupakan cerita bersambung karya Herjaka HS yang memaparkan sebagian jalan hidup yang ditempuh Durna hingga periode Kurawa dan Pandawa di Hastinapura.
Durna termasuk tokoh yang jarang dikisahkan secara tunggal, baik dalam novel maupun pertunjukan wayang. Karenanya penerbitan novel ini sekaligus melengkapi dunia novel wayang yang akhir-akhir ini semakin semarak.
Dapatkan segera di:
Tembi Rumah Budaya
Jl. Parangtritis Km 8,4 Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta
Telp. (0274) 368000 atau 368004
Tembi Rumah Budaya
Jl. Gandaria I / 47B Kebayoran Baru
Jakarta Selatan
Telp: (021) 7203055, 7253410
Harga Rp 35.000,-
Sa' Unine
String Orchestra
Buaian Sepanjang Masa
Harga CD Rp 90.000,-
Belum termasuk ongkos kirim
Pemesanan hubungi Titin di
085782989824 atau 021-7253410 / 021-7203055
Klik Disini Untuk Mendengarkan
PENGUMUMAN HASIL SELEKSI
FESTIVAL MUSIK Tembi 2012
PENGUMUMAN HASIL SELEKSI
“MUSIK TRADISI BARU 2012”
© Tembi 2023