Pameran Ilustrasi Tembang Dolanan Anak Jawa: Menengok Akar Peradaban
Permainan atau dolanan anak-anak tradisional Jawa mungkin hanya akan menjadi tinggal kenangan belaka. Perjalanan zaman telah menggusur dolanan anak itu. Hampir semuanya telah tergantikan oleh model dolanan modern. Jagad ”game” dan dunia maya serta televisi telah hampir dapat menggantikan semuanya. Interaksi sosial menjadi demikian minim. Hampir semuanya telah tergantikan dengan benda elektronik. Orang lain di luar diri menjadi tererosi keberadaan dan kepentingannya.
Keprihatinan semacam itu turut mendorong pelaksanaan acara Pameran Ilustrasi Tembang Dolanan Anak Jawa. Pameran yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya Yogyakarta mulai 10-19 April ini menghadirkan 42 buah gambar ilustrasi dan 32 foto lama tentang dolanan anak tradisional. Pembukaan pameran diawali dengan seni pertunjukan yang menggambarkan dolanan anak Jawa masa lalu yakni Nini Thowok dan Sintren. Seni pertunjukan ini ditampilkan oleh para penari dari ISI Yogyakarta.
Pameran yang diberi tema Ilir-ilir ini menampilkan gambar ilustrasi yang digambar ulang berdasarkan sebuah buku terbitan tahun 1938 yang berjudul ”Javaansche Meisjesspelen en Kindewrliedjes” karya H. Overbeck. Buku ini diterbitkan oleh Java Instituut Jogjakarta.
Apa yang dilakukan oleh Bentara Budaya Yogyakarta ini merupakan bagian dari upayanya untuk turut serta melestarikan warisan kebudayaan Jawa masa lalu. Oleh karena itu pula katalog yang disertakan dalam pameran ini juga memuati sekitar 152 teks tembang dolanan anak tradisional. Barangkali teks-teks tembang dolanan anak tradisional itu pun sekarang tidak lagi dikenali. Mungkin hanya tembang Ilir-ilir sajalah yang relatif masih dikenal atau tidak asing di telinga generasi muda sekarang. Oleh karena itu pula pameran ini diberi tema atau topik Ilir-ilir: Ilsutrasi Tembang Dolanan.
Barangkali perlu disebut juga jenis-jenis dolanan anak tradisional Jawa yang sekarang terasa begitu asing di memori atau telinga kita. Jenis dolanan demikian itu di antaranya adalah Bibis Maring Kowangan, Soyang-soyang, Gowokan, Hake-hake Ula Banyu, Enthung-enthung, Lahis, Andha Endhe, Lok-lok Tik, Ni Korek, Angkling Tumbar Wulung, Sapi Sapo en, Nini Katisen, Solore, Sumbar Suru, Lara Dengkek, Ce Jelathak, Titi Gung, Nini Antih, Ni Oncit, Ceng Nggonung, dan sebagainya.
Dapat dikatakan bahwa gambar-gambar ilsutrasi tersebut kelihatan demikian kaki dan statis. Akan tetapi tampaknya bukan soal-soal keindahan estetis gambar tersebut yang ingin ditonjolkan dalam pameran ini. Namun soal pelestarian dan mungkin juga soal pengenalan kembali akan jenis-jenis dolanan anak tradisonal Jawa kepada khalayak yang tampaknya sebagian besar memang tidak lagi memiliki catatan ingatan akan semuanya itu.
Sindhunata yang menyitir pendapat Huizinga menyatakan bahwa peradaban pada tahapnya yang paling awal adalah permainan. Peradaban itu muncul di dalam permainan dan sebagai permainan, dan tidak pernah meninggalkan permainan. Selain itu, kultur atau peradaban sendiri tidak dapat dimengerti kecuali di bawah wajah permainan. Dengan demikian betapa hakikinya permainan bagi sebuah masyarakat. Bahkan permainan tidak saja melahirkan kultur, permainannya sendiri adalah momen, di mana manusia dapat mentransendensikan dirinya dari aktivitas kehidupan sehari-hari. Dengan permainan orang keluar dari kehidupan nyata dan tidak lagi berada di bawah tekanan dan tuntutan untuk memuaskan nalurinya seturut permintaan dari luar. Dengan permainan manusia sejenak berada dalam suatu aktivitas yang tidak bertujuan untuk meraih profit atau kegunaan di luar dirinya. Ia bermain demi dan dalam permainan itu sendiri dan dengan demikian ia memperoleh kesenangan. Kesenangan itu pun tidak bisa dijadikan target. Hanya dengan bermain orang bisa merasakan kesenangan itu. Permainan tidak pernah memproduksikan sesuatu di luar dirinya kecuali kesenangan dalam permainan itu sendiri.
Jika tesis Huizinga yang menyatakan bahwa permainan adalah asal dari kebudayaan itu benar, maka tidak mengherankan bahwa kebudayaan Jawa pun sangat diwarnai oleh kesosialan, kebersamaan, dan kegotoroyongan. Semua itu terlihat jelas dalam permainan anak-anak tradisional Jawa yang selalu terjadi dalam kebersamaan. Bahkanm nyaris tidak mungkin melakukan permainan khas anak Jawa tanpa kebersamaan.
Barangkali zaman modern yang pada salah satu sisi membawa banyak kemajuan kepada kita, namun pada sisi yang lain juga merenggut kita dari kebersamaan kita pada orang lain (tetangga bahkan keluarga). Sisi tragis yang lain dari peradaban modern juga telah membuat kita menjadi lebih individualis dan juga egois. Mungkin oleh karena itu semua kita menjadi merasa kehilangan identitas kita. Tanpa karakter, hilang diri.
a.sartono