Obrolan tentang Penciptaan Tari
“Ide itu seperti jalangkung,” ujar Dra. Setyastuti, M.Sn. “Ide datang tak diundang, pergi tak bilang-bilang.”
Karenanya menurut koreografer dan dosen tari ISI Yogyakarta ini ide harus segera disimpan dalam memori, yang kemudian dipanggil sewaktu-waktu. Salah satu caranya adalah ketika ide datang harus “dirasa-rasake” (dirasakan) dan dieksplorasi.
Setyastuti menyampaikan hal itu pada diskusi ‘Menggali Gagasan Menjadi Pertunjukan’ di Tembi Rumah Budaya, 2/4/12. Diskusi ini merupakan acara reguler bulanan Obrolan Tari Tembi (OTT), ini kali yang ketiga.
Cara lain yang ditawarkannya adalah dengan sering diskusi, ngobrol, atau malah ngerumpi mengenai tema-tema yang up date dan ngetrend. Dengan demikian, si seniman dapat dikayakan. Terkait dengan hal ini, Setyastuti menganjurkan untuk mengangkat tema yang sederhana. Bahkan menurutnya, biasanya karya besar berasal dari hal sederhana. Misalnya soal angkringan. Intinya, Setyastuti meminta agar pencipta tari jangan terbebani. “Jika menjadi beban dan berat maka menari tidak enjoy,” tukasnya.
Jadi, kata Setyastuti, mulailah dari yang disukai lalu digauli, kemudian baru dieksplorasi dengan kemungkinan-kemungkinan variasinya. Modal penting lainnya adalah open mind dan open eyes. Seniman tidak boleh berstandard kaku, sebaiknya secara kondisional gampang memasuki area-area yang asing dan mudah berkolaborasi dengan ruang. Dengan demikian, seniman harus mengasah kekritisan baik dalam merespon ruang maupun penonton.
Penggagas OTT Bambang Paningron menambahkan, bahwa pencipta tari sering dibatasi banyak hal, termasuk ruang. Misalnya, pendapa dengan empat tiang (saka), seperti yang ada di Tembi, bisa menjebak. Maka penguasaan pada ruang sangat penting. Bahkan kalau perlu penari bisa bergerak keluar dari pendapa.
Menurut Setyastuti, ide yang baik antara lain orisinal, unik, mengandung unsur kebaruan, bermanfaat dan menginspirasi penonton. Selain itu, memiliki sumber acuan, serta mempertimbangkan sasaran, sudut pandang penonton. Yang dimaksud orisinal adalah apa yang diciptakan pada saat itu juga, jadi bukan dibuatkan. Koreografer harus berani mengakui kelemahan-kelemahannya dan harus berani bersikap, “Ini yang aku bisa. Ini yang aku ingin sampaikan.”
Sedangkan baru, katanya, relatif, yakni menurut apa dan siapa? “Kebaruan harus dilihat culturenya,” ujar koreografer trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini
Misalnya, ia pernah menciptakan tari dengan kultur Madura di Surabaya, yang diprotes oleh sebagian kalangan Madura. Toh ia tetap akan membawa kultur Madura dalam tari ciptaannya. Dipadu dengan kultur Jawa yang kalem jadilah sebuah kekayaan ciptaan.
Sedangkan Paningron melihat kebaruan semata sebagai persoalan informasi, siapa yang lebih dulu memperoleh informasi tersebut, yang diistilahkannya dengan “kewahyon”. Persoalan akses informasi karenanya sangat penting dimana aktualisasi informasi dikemas sebagai kekinian. “Persoalan pertunjukan masa kini adalah soal mengemas, harus jadi aktual,” katanya.
Paningron juga menyangsikan adanya kebaruan. Ia mencontohkan tari kontemporer di Barat yang banyak mengapresiasi tari Afrika Begitu pula sejumlah pementasan seni pertunjukan di Indonesia yang disebut-sebut sebagai pembaruan ternyata pernah dilakukan di Barat.
OTT kali ini menampilkan dua showcase tari yang dipentaskan dan diciptakan oleh Wisnu HP dari Ponorogo yang dibantu Sekar dan Mila dari TDC, dan oleh Ari Ersandi, S.Sn. dari ISI Yogyakarta.
Wisnu, yang ide tariannya muncul di kereta api dalam perjalanan ke Yogya, menyatakan tak peduli soal kebaruan. Yang terpenting baginya adalah kejujuran. Menurutnya, kejujuran adalah bagian dari hidup sebagai proses pencarian lewat kesenian. Ia ingin terus bercerita lewat tari.
barata