Majalah Yang Tak Lagi Dikenal
Kita bisa melihat, majalah yang pernah ada dan kini tidak terbit lagi. Namun bukan berarti majalah yang pernah terbit itu sama sekali tidak bisa ditemukan, setidaknya bisa dilihat di perpustakaan daerah, atau perpustakaan milik pemerintah. Atau juga bisa melihat pada kolektor buku tua atau majalah-majalah lama. Atau juga setidaknya, ada orang yang masih ‘peduli’ meski bukan kolektor, menyimpan sejumlah nomor majalah yang tidak lagi terbit, dan mungkin malah tidak lagi ‘dikenali’.
Setidaknya seperti seorang anak muda, yang namanya Martin. Dia tinggal di dua tempat, Bali dan Surabaya. Di dua kota ini dia sering bolak-balik. Di Surabaya dia tinggal ditempat saudaranya, dan di Surabaya inilah Martin masih menyimpan sejumlah majalah, yang tidak lagi terbit dan, rasanya kita juga tidak mengenali nama majalah itu. ‘Sketsmasa’ nama majalah itu, terbit tahun 1960-an. Ada edisi tahun 1964 dan tahun-tahun sebelumnya. Sebulan dua kali terbit, maka di majalahnya ditulis ‘majalah tengah bulanan’.
Kalau melihat isinya, setiap edisi selalu saja ada foto Bung Karno, dan tulisan mengenai Bung Karno, apalagi slogan majalahnya menyiratkan dari pikiran Bung Karno, yakni ‘Adil Makmur lewat Manipol Usdek’. Dari isi majalah dan slogannya, rasanya ‘Sketsmasa’ majalah untuk propaganda Soekarno, atau setidaknya mendistribusikan pikiran-pikiran Soekarno. Tapi bisa juga, pada masa majalah ini terbit, tidak bisa lepas dari ideologi negera, seperti halnya media di era orde baru yang tidak bisa alpa terhadap Pancasila.
Sebagai contoh, salah satu edisi ‘Sketmasa’ no 19 Th VII 1964, menghadirkan tema ‘Unsur Seni Budaya dalam Revolusi 45’. Tema ini ditulis di cover majalah dengan huruf kapital. Dari segi fisik, ‘Sketsmasa’ dicetak menggunakan kertas koran. Kertas sampulnya menggunakan kertas yang sama, hanya diberi warna. Setidaknya ada dua warna pada cover. Pada edisi yang disebut sebagai contoh ini latar belakang covernya berwarna hijau. Tulisan tema berwarna putih dan logo majalah berwarna merah.
Pada tulisan utama, yang diberi judul ‘Unsur Seni budaya dalam Revolusi ‘45’ yang ditulis oleh Amak Sarifudin, dan disingkat menjadi Amak S, pemimpin redaksi dan penanggung jawab ‘Sketmasa’ menulis semangat kebudayaan yang tidak lepas dari sikap revolusioner dengan menyebut contoh Chairil Anwar dibidang seni sastra. Kita kutipkan apa yang dituliskannya:
“Seperti pertumbuhan pesat partai-partai politik Indonesia setelah Kemerdekaan 1945, berkembang pesat pulalah seni dan budaya dari seniman-seniman Indonesia dalam berkarya. Dengan dasar pelopor golongan yang disebut ‘pujangga ’45, yakni Chairil Anwar, bangun pulalah kemudiannya ‘angkatan ‘45’ dibidang seni sastra. Dengan munculnya angkatan baru ini, maka berdirilah dua golongan di Indonesia dalam seni sastra khususnya, yakni ‘pujangga baru, angkatan sebelum perang dunia II, dan angkatan ‘45’
Bagi Amak S, Chairil Anwar, dalam beberapa seginya telah mendobrak ikatan-ikatan yang sering dipakai oleh golongan lama dalam susunan kalimat dan kata-kata, sehingga bisa dikata merupakan ‘pengrevolusi’ kesusastraan Indonesia.
“Pertentangan segera timbul tentang penilaian karya ’45 dan karya sebelum perang. Juga antara sastrawan ’45 dan sastrawan sebelumnya’ tulis Amak.
Membaca ‘Sketsmasa’ kita seperti sedang melihat bagaimana semangat revolusi ditiupkan. Bahwa berbagai bidang, termasuk kesusastraan, tidak bisa lepas dari semangat revolusi. Justru malah dari sana pikiran itu dimulai. Karena itu, membaca ‘Sketsmasa’ kita bisa membayangkan pada masa lalu, bahwa orang, hampir-hampir, tidak bisa jauh dari semangat revolusi.
Majalah ‘Sketmasa’ tak ada lagi, juga majalah sejenis yang terbit tidak hanya di Jakarta, tetapi bisa ditemukan di daerah-daerah lain, termasuk di Yogyakarta. Majalah yang terbit sebelum apa yang disebut sebagai Gestok muncul, kini tidak ada lagi.
Dari ‘Sketsmasa’ setidaknya kita bisa mulai tahu, bahwa distribusi semangat revolusi, tidak (pernah) kendor.
Ons Untoro