JEMBATAN KEWEK BARU:
MENGURAI KEMACETAN DI TAMAN ADIPURA JOGJA
Persimpangan Jembatan Kewek atau dikenal juga sebagai Persimpangan Taman Adipura merupakan salah satu titik yang menjadi sumber kemacetan di Jogja. Titik ini menghubungkan lokasi-lokasi pusat keramaian: Malioboro, Jalan Mataram, Kotabaru, Stasiun Tugu. Titik ini juga menjadi tempat bertemunya arus kendaraan dari wilayah selatan-barat-timur-dan utara Jogja. Kemacetan yang terus saja terjadi dan bahkan bertambah padat dengan lajunya pertambahan kendaraan di Jogja menjadikan titik ini perlu mendapatkan perhatian ekstra.
Jembatan Kewek selain fenomenal karena menjadi salah satu simpul kemacetan di Jogja juga fenomenal karena namanya mungkin terdengar aneh, yakni Kewek (bukan cewek). Kewek berasal dari istilah bahasa Belanda, yakni ”kerkweg”. ”Kerk” diartikan sebagai gereja (church) dan ”weg” diartikan sebagai jalan (way). Jadi Jembatan Kewek dulunya merupakan jembatan atau jalan penghubung untuk menuju gereja, yakni Gereja Santo Antonius Kotabaru. Gereja ini terletak di sisi timur Sungai Code.
Pemerintah Kota Jogja melalui Kimpraswil mencoba menguraikan kemacetan ini dengan membangun jembatan baru. Jembatan baru yang dibangun di sisi utara jembatan lama ini menghubungkan langsung wilayah barat dan timur Sungai Code. Rencananya, jembatan ini akan dapat melancarkan arus lalu lintas dari Jalan Kleringan langsung masuk ke Kotabaru dan berbelok masuk ke Malioboro.
Pembangunan Jembatan Kewek baru ini setidaknya memerlukan dana 9,28 miliar rupiah. Anggaran berasal dari Pemerintah Kota dan Pemerintah Provinsi. Jembatan Kewek Baru ini memiliki panjang 36 meter dan lebar 18 meter. Lebar 18 meter ini telah pula meliputi lebar trotoar 2 meter di masing-masing sisinya. Jadi lebar efektif jembatan yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan adalah 14 meter.
Simpul kemacetan di Taman Adipura memang telah menjadi persoalan tersendiri bagi lalu lintas Kota Jogja. Harapannya, dengan dibangunnya Jembatan Kewek Baru ini kemacetan di titik ini bisa diuraikan. Semoga memang demikian. Namun kita juga harus mengerti bahwa jumlah atau volume kendaraan yang memenuhi jalan-jalan atau ruang-ruang di Jogja setiap hari selalu bertambah. Belum lagi jika musim liburan yang identik dengan musim kunjungan wisata ke Jogja. Pada musim-musim semacam ini kapasitas jalan di Jogja sepertinya tidak mampu lagi menampung luapan volume kendaraan.
Barangkali memang harus selalu dipikirkan, bagaimana supaya volume kendaraan tidak meledak. Tentu saja hal ini harus pula dibarengi dengan tersedianya sarana transportasi umum yang memadai. Memadai dalam arti relatif murah, nyaman, aman, lancar, dan biasa diandalkan. Pengaturan jumlah kendaraan sebagai transportasi umum termasuk jenis-jenisnya tentu perlu pula diperhitungkan. Bagaimana misalnya komposisi dan jumlah bis kota beserta jenisnya, bagaimana komposisi taksi dan jenisnya, dan seterusnya. Bagiamana pula dengan kendaraan pribadi yang barangkali justru merupakan jumlah yang terbesar dan paling memberikan andil kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas.
Bagaimanapun panjang dan lebar jalan (di kota) tentu tidak akan bisa menampung semua kendaraan yang masuk ke kota. Kota selalu berhubungan dengan daerah-daerah (kabupaten). Kendaraan di kabupaten-kabupaten dalam satu provinsi juga akan memberikan andil besar pada kemacetan lalu lintas di kota karena pada hakekatnya hubungan kabupaten-kota menjadi hubungan yang lumrah dan terjalin dalam keseharian. Dengan dibangunnya Jembatan Kewek Baru mungkin memang akan menjadi salah satu solusi bagi penguraian kemacetan di Taman Adipura Kota Joga.
a.sartono