Buku Lawas di Pasar Tradisional
Buku lawas (an) memang tidak terpajang di toko-toko buku yang menyediakan buku-buku terbaru. Buku lawas (an) tahun 1940-an, 1950-an dan seterusnya, biasanya ditemukan di pasar loak, atau toko buku kaki lima. Namun, buku lawas di toko buku kaki lima harganya bisa jauh lebih mahal dibandingkan buku baru. Penjual buku sering berlagak, buku lawas sudah tidak dicetak lagi, maka harganya mahal.
Mencari buku lawas memang perlu kejelian dan sabar. Orang perlu menyediakan waktu untuk ‘hunting’. Tidak perlu mengunjungi pasar loak buku lawas (an), karena kita bisa terperdaya. Kita perlu mencari di tempat lain, yang terkadang buku lawas di pajang berdampingan dengan jenis barang bekas lainnya.
Suatu kali, di pasar klithikan yang pagi hari membuka lapak di alun-alun kidul selatan, dari sejumlah barang bekas lainnya, terselip satu buku lama, yang sudah lusuh dan tidak disentuh oleh orang yang sedang melihat-lihat barang bekas lainnya. Buku itu adalah buku skets karya Heng Ngantung, yang bagi kalangan perupa penting untuk dimiliki. Tapi, di pasar klithikan itu buku tersebut tidak mendapat perhatian.
Di lokasi lain, masih di pasar tradisional, kita bisa mendapatkan buku-buku yang penting untuk dibaca, meski sudah ditulis tahun 1950-an atau 1960-an. Di Yogya, terutama di desa-desa, masih dikenal ‘hari pasaran’ yang jatuh pada hari Jawa, misalnya Kliwon, Pahing dan seterusnya. Pada hari pasaran ini, setiap pasar tradisional ramai pedagang dan pembeli. Pedagang dari bermacam daerah datang disatu pasar tradisional yang berada disatu desa. Pedagang pasaran seperti ini akan keliling ke banyak pasaran pada hari pasaran, dan setiap hari, di pasar yang berbeda-beda dan desa yang berbeda pula, ada hari pasaran, oleh karena itu pedagang pasaran selalu menjual dagangannya di pasar yang berbeda-beda itu.
Di antara sejumlah pedagang, biasanya ada pedagang buku yang memajang buku-buku agama, primbon dan buku-buku sejenis. Namun, kalau kita jeli dan sabar, juga rajin membalik-balik tumpukan buku, kita bisa menemukan buku, yang bagi pembaca buku penting untuk dimiliki, tetapi mungkin, bagi orang yang sedang berbelanja di satu pasar pada hari pasaran, buku tersebut dianggapnya tidak terlalu penting. Maka, diabaikan saja.
Betapa terkejutnya, ketika suatu kali, ‘Tembi’ mendapatkan satu buku, yang menjadi rujukan calon ekonom, terutama yang getol mempelajari ekonomi kapitalis. Karena, dalam tumpukan buku, terdapat satu buku warwa hitam dan tulisan judul berwarna putih “Pra Kapitalisme di Asia’ begitulah judul buku yang ditulis oleh JH. Booke, tentu saja, buku itu tidak dilewatkan untuk diambil hanya dengan harga beberpa ribu. Tak sampai Rp. 10.000,-.
Di pasar yang lain lagi, tentu saja masih tradisional, ditemukan satu buku, yang sudah lusuh, dan merupakan buku penting. Buku karya Mohamad Hatta, atau Bung Hatta, wakil presiden RI I. Judul bukunya ‘Ekonomi Sosiologis’. Buku-buku penting seperti ini, terselip di sudut tumpukan buku disatu pasar tradisional di desa.
Masih ditemukan buku-buku lainnya, termask buku dialog antara DH. Burger dan JH Booke mengenai ekonomi. Ada buku sastra, misalnya kumpulan puisi Kirjomulyo, novel karya Hamka, cerita anak-anak dan sejumlah buku-buku lawas lain, yang masih penting untuk dibaca. Karena pemikiran perkembangan ekonomi sekarang, misalnya, tidak terlepas dari pemikiran Booke dan DH Burger pada 40 tahun lebih yang lalu.
Agaknya, sebagai bangsa, kita seperti buku lawas (an) yang terselip tidak dikenali. Para elit kita tidak memperhatikan warga masayarakat yang memberi mandat untuk memimpin, sehingga membiarkan warga masyarakyatnya terselip ditengah kompleksitas permasalahan bangsa.
Ons Untoro