‘Revolusi Kwek-Kwek’ di ‘Indonesia Raya’

Bebek itu sendiri mengandung metafora yang bisa dirunut sifat bebek, yang beriring-iringan digiring oleh penggembalanya. Dalam bahasa ada istilah membebek, yang artinya mengikuti tanpa berpikir, dan rela dibawa kemana saja.

Sepeda baru Kang Petruk, krya Yun Suroso, dipamerkan di Ruang Pamer Taman Budaya’, oleh Paguyuban Sidji, foto: Ons Untoro
Sepeda baru Kang Petruk, karya Yun Suroso

Tajuk pameran senirupa ini adalah ‘Revolusi Kwek-Kwek’ karya Paguyuban Sidji, yang digelar pada 6-10 September 2013 di Taman Budaya Yogyakarta.

Sidji, yang dipakai menjadi nama dari paguyuban merupakan akromin dari Seniman Dligo, Jetis, Imogiri. Tiga nama disebut terakhir merupakan nama Kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Bantul. Dengan demikian, para perupa yang tergabung di Paguyuban Sidji adalah mereka yang berasal (atau tinggal) dari Kecamatan Dligo, Jetis dan Imogiri.

Judul pada tulisan ini mengambil dua kalimat, yang pertama adalah tajuk pameran, dan kalimat kedua ‘Indonesia Raya’ merupakan satu karya yang dipajang di ruang pamer, dengan menggunakan bahan dari jerami.

Judul karyanya ‘Awas Mudah Terbakar’, ukuran 195 cm x 25 cm x 15 panel, dan berbentuk tulisan ‘Indonesia Raya !’ (dengan tanda pentung), karya Suraji. Tentu saja, visual ini memakan ruang pameran, namun karena cara memasangnya digantung tidak mengganggu ruang, bahkan memberikan nuansa ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta.

Awas Mudah Terbakar, karya Suraji, di pemrkan di Ruang Pamer Taman Budaya Yogyakarta, oleh Paguyuban Sidji, foto:Ons Untoro
Awas Mudah Terbakar, karya Suraji

Dalam konteks politik, kata revolusi memiliki makna yang tidak sederhana, dan karena kata itu, Indonesia pernah ‘dialiri’ darah dari para korban revolusi. Namun, dalam konteks pameran ini kata revolusi tidak memiliki bobot heroik, melainkan malah diekspresikan dalam visual yang indah, satir dan karikatural. Dalam kata lain, perubahan sosial politik sebagai bahan kelakar.

Judul karya ‘Awas Mudah Terbakar’ pada ekspresi tulisan ‘Indonesia Raya!’ memiliki makna yang tidak tunggal. Dalam arti harafiah, barangnya memang mudah terbakar, tetapi di sisi yang lain, bahwa warga masyarakat di Indonesia, mudah (untuk) dibakar, dalam arti marah atau ngamuk.

Apalagi detail dari karya Suraji yang menggunakan jerami (kering) tersebut, pada setiap tulisan ada lubang tikusnya, untuk menunjukkan, bahwa di negeri (yang katanya) Indonesia Raya, tetapi di dalamnya banyak tikus berkeliaran, yang secara diam-diam bisa meruntuhkan negeri Indonesia (yang lagi-lagi katanya) kaya raya.

Karena kata ‘kwek-kwek’ identik dengan suara bebek, maka ada karya kolaborasi dari sekitar 30 perupa, yang semuanya menyajikan bentuk bebek, dan dalam jumlah ratusan yang diletakkan di atas lantai di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta. Ratusan bebek ini seperti dibiarkan berkeliaran.

Kwek-Kwek, kolaborasi 30 perupa di Ruang Pamer Taman Budaya, Yogyakarta, foto: Ons Untoro
Kwek-Kwek, karya kolaborasi 30 perupa

Maka, tajuk ‘Revolusi Kwek-kwek’ direpresentasikan dari karya bebek kwek-kwek ini, sekaligus dimaksudkan di negeri Indonesia Raya terlalu bising suara-suara seperti halnya suara bebek.

Ada juga karya lain, berjudul ‘Sepeda Baru Petruk’ karya Yun Suroso, yang menyajikan figur wayang Petruk, yang seluruh tubuhnya berwarna merah, tetapi wajahnya berwarna kuning dan rambutnya hitam. Jadi, merah, kuning hitam menyatu dalam tubuh Petruk. Hanya sepedanya yang berwarna hijau. Dari warna-warna dalam karya perupa Yun Suroso ini, ketika diletakkan pada konteks tema, apa sesungguhnya arti dari warna itu?

Yun Suroso, agaknya sedang berkelakar melalui tokoh Petruk dengan warna-warni dalam politik yang bergabung, yang disebut koalisi.

Namun ada juga karya lain, yang sesungguhnya tidak berada di tengah tema, tetapi bisa memberi imajinasi mengenai Indonesia negeri kaya. Karya ini berjudul ‘Rahmatan Lil’alamin’ karya Suharman, yang menyajikan keindahan alam, berupa danau kecil, sebut saja begitu, atau mata air yang terletak di bawah pohon, dan sekitarnya hamparan tanaman menguning.

Rasanya, karya Suharman itu memberikan kisah ilusif mengenai Indonesia Raya, atau malah kisah yang terus diproduksi sampai hari ini, bahwa negeri Indoensia alamnya kaya raya.

Rahmatan Lil’alamin, karya Suharman di Ruang Pamer Taman Budaya, <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/%E2%80%98revolusi-kwek-kwek%E2%80%99-di-%E2%80%98indonesia-raya%E2%80%99-5161.html'> Yogyakarta</a>oleh Paguyuban Sidji, foto: Ons Untoro
Rahmatan Lil’alamin, karya Suharman

Pameran Paguyuban Sidji memang tidak sedang melakukan protes secara heroik, melainkan sedang menertawakan keadaan yang dirasa tidak pas. Sehingga revolusi, bagi perupa, tidak selalu berarti ‘menjebol dan membangun’, melainkan ‘menyindir dan menertawai’.

Rain Rosidi, kurator dan pengajar di ISI Yogya, yang memberi pengantar pada katalog pameran, menuliskan bahwa demokratisasi yang diharapkan memunculkan negara yang lebih adil, justru menimbulkan kebobrokan-kebobrokan baru yang lebih membanjir, seperti korupsi berjamaah, ketidakadilan sosial, mahalnya kebutuhan pokok, dan masih pula terjadinya kesewenang-wenangan hukum.

“Tema pameran Paguyuban Sidji kali ini seolah mengingatkan kembali pada gejala yang marak di senirupa pada tahun-tahun sepanjang Reformasi. Mereka mengusung tema ‘Revolusi Kwek-kwek’. Wek-wek mengarahkan kita pada bunyi yang keluar dari bebek,” Kata Rain Rosidi.

Rain menjelaskan bahwa bebek itu sendiri mengandung metafora yang bisa dirunut sifat bebek, yang beriring-iringan digiring oleh penggembalanya. Dalam bahasa ada istilah membebek, yang artinya mengikuti tanpa berpikir, dan rela dibawa kemana saja. Tentu saja, dalam tema ini ketika dihubungkan dengan kata ‘revolusi’, bebek menjadi metafora dari manusia.

“Tema ini serentak membawa gambaran kita pada aktivitas manusia yang coba disuarakan melalui tingkah laku bebek,’ jelas Rain Rosidi.

Naskah & foto:Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta