Bakdi Sumanto Membaca Ulang Rama Mangun Sebagai Manusia Dan Sastrawan
Karya Rama Mangun yang bersifat tindakan nyata dan dalam bentuk karya sastra bisa dibaca sebagai satu pikiran ideologi yang konsisten dan utuh.
Bakdi Sumanto, Foto: Sartono
Yusuf Bilyarto Mangunwijaya Pr, atau Rama Mangun, panggilan akrabnya, dikenal sebagai seorang sastrawan yang menulis beberpa novel, sekaligus seorang arsitek yang menghasikan karya-karya arsitektur kreatif. Selain itu, Rama Mangun dikenal sebagai seorang pembela orang miskin dan lemah. Ia meninggal dunia di Jakarta, 10 Februari 1999.
Untuk (kembali) mengenali karya Rama Mangun, Pasca Sarjana UGM mengadakan diskusi dengan tema ‘Wastu Citra dan Produksi Ruang Berwawasan Humanisme’ di Ruang Seminar lantai 5 Pasca Sarjana UGM, jl Teknika utara, Pogung, Yogyakarta, dengan narasumber Prof Dr Soebakdi Sumanto SU, pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM; dan Ir Eko Agus Prawoto IAI Arch, pengajar Teknik Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
Tulisan ini akan menyajikan satu narasumber, yakni Soebakdi Sumanto, yang membawakan makalah ‘Rama Mangun, Manusia, Sastra’.
Bakdi Sumanto, demikian dia akrab dipanggil, masih teringat novel Rama Mangun pertama yang ditulis (dan diterbitkan) tahun 1981 berjudul ‘Rama Rahadi’, dan ketika itu masih menggunakan nama samaran. Namun, pada edisi kedua tahun 1986, novel tersebut telah menggunakan namanya sendiri.
“Bagi saya, yang paling menarik dari novel ini adalah satu baris kutipan dari Ernest Renan: Keragu-raguan adalah sebentuk kehormatan kepada kebenaran,” kata Bakdi Sumanto.
Dalam diskusi ini, Bakdi Sumanto lebih khusus membicarakan beberapa novel karya Rama Mangun, untuk menunjukan bahwa Rama Mangun sebagai seorang sastrawan, meski sebenarnya kita bisa melihat karya arsitektur Rama Mangun juga merupakan bentuk lain dari karya sastra, dalam sebagai ekspresi budaya.
Pada novel “Roro Mendut’ misalnya, Bakdi menujukkan ekspresi budaya yang dilakukan oleh Mangun sebagai sesuatu yang nyata, karena selain muncul pada kisah novel, Mangun juga melakukannya pada kehidupan riil dengan membela hak-hak orang lemah-miskin. Dalam novel ini, demikian kata Bakdi Sumanto, Rama Mangun merespon cerita sejarah atau babad dengan judul yang sama, tetapi dengan cara menghindari tindakan bunuh diri, yang dalam cerita rakyat dilakukan oleh Rara Mendut.
YB Mangunwijaya Foto: Prioritasnews
“Tetapi, dalam novel Rama Mangun, Roro Mendut gugur karena menghadang serangan Wiroguno yang hendak menikam Pronocitro. Mendut gugur sebagai pahlawan yang membela kekasihnya,” ujar Bakdi Sumanto.
Yang penting dari novel “Roro Mendut’ ini, demikian kata Bakdi, Mendut bukan makhluk lemah karena perempuan, tetapi perkasa walau perempuan.
Novel lain yang disinggung Bakdi adalah ‘Burung-burung Manyar’ (1981), yang dicetak ulang sampai lima belas kali, dan setiap cetak ulang 5.000 eksemplar. Bakdi menilai novel ini sebagai bentuk pembelaan kepada mereka yang dilupakan. Dalam konteks ini, Bakdi teringat pada sajak Chairil Anwar yang berjudul ‘1946’ :
Lahir seorang besar
tenggelam beratus ribu
keduanya harus dicatat
keduanya dapat tempat
Bakdi Sumanto menduga, Rama Mangun mendapat inspirasi dari Chairil dalam menulis novel ‘Burung-burung Manyar’. Kedua karya sastra itu, memberi tempat pada rakyat, seperti kata Chairil Anwar dalam puisi: ‘seorang besar’ dan ‘beratus ribu’ mendapat tempat dan dicatat. Mengenai novel ‘Burung-burung Manyar’ Bakdi menyampaikan apa yang pernah dikatakan Rama Mangunwijaya:
“(Saya) hanya ingin mengajak pembaca berpikir secara common sense saja terhadap revolusi itu. Wong saya ya ikut ambil bagian angkat senjata di Palagan, Ambarawa. Saya menolak meromantisir revolusi itu. Rakyat bisa juga berjuang lho..”.
Durga Umayi, yang terbit tahun 1991, salah satu novel yang lain karya Rama Mangunwijaya, bagi Bakdi Sumanto dapat dibaca sebagai pembelaan bagi orang-orang yang dipandang menjadi korban proses pembodohan, ketika berpikir rasional sudah mati.
“Secara keseluruhan novel Durga-Umayi sebenrnya bersikap mempertanyakan ideologi nasionalisme yang mempersatukan wilayah Nusantara sebagai satu kesatuan,” ujar Bakdi Sumanto.
Menutup pembicaraan, Bakdi Sumanto mengatakan, bahwa dari karya Rama Mangun yang bersifat tindakan nyata dan dalam bentuk karya sastra bisa dibaca sebagai satu pikiran ideologi yang konsisten dan utuh.
Rara Mendut, novel Karya Rama Mangun, Foto: Lukman.blongspot.com
“Sebagai pribadi, dua jenis karya itu bisa digambarkan sebagai satunya kata dan perbuatan,” kata Bakdi Sumanto.
Ons Untoro
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/
Baca Juga Artikel Lainnya :
- MAS MUR YANG JANGKUNG(22/07)
- BANGSA/SUKU BANGSA JAWA SATU ABAD SEBELUM MASEHI(15/07)
- DOMINASI BUMBU KIMIA DALAM DUNIA KULINER(08/07)
- KELUARGA JAWA: DULU DAN SEKARANG(01/07)
- SETAHUN PERISTIWA BUNGKER MAUT(26/06)
- BENCANA MERAPI DAN LAVA TOUR(17/06)
- NASIB HUTAN KITA(10/06)
- MELIHAT KARAKTER MANUSIA MELALUI WAYANG(04/06)
- MAKANAN DENGAN BAHAN PENGAWET DAN PEWARNA KIMIA(27/05)
- BAHASA IKLAN(20/05)