Si Tembi Tambun yang Hitam Manis (2)

Penempatanku di Kuncung Pendapa Tembi itu pun tidak serta merta diletakkan begitu saja. Penempatan itu dilakukan dengan upacara resmi. Aku sungguh merasa tersanjung sekaligus terhormat.

bagian depan dari mobil dodge 1948, koleksi Tembi rumah budaya, foto: a.sartono
Aku sedang diperiksa oleh sopirku

Ya begitulah nasibku. Akhirnya aku memang benar-benar teronggok menjadi barang rongsokan. Tidak ada lagi yang mengagumi aku. Jangankan mengagumi, memperhatikanku pun tidak. Sebentar lagi mesin-mesin semacam gergaji akan membelah tubuhku, mempreteli anggota-anggota tubuhku. Aku akan dijadikan besi kiloan. Apa boleh buat.

Memang demikianlah nasib kendaraan sepertiku. Habis manis sepah dibuang. Kini tidak ada lagi nyanyian Hitam Manis yang dulu membuatku begitu tersanjung. Tidak ada lagi keelokan pada diriku. Aku telah tua, renta, merana, kehilangan fungsinya, dan ditinggalkan. Aku harus rela menyerahkan nasib diriku bersama barang-barang rongsokan lainnya.

Entah angin apa yang membawa sosok yang menyebut diri sebagai N.N menemuiku. Sungguh heran, ia masih bisa mengenali sosokku yang dulu mempesona. Ia mengenaliku sebagai sosok yang masih memiliki nilai. Oh, aku senang sekali. Semoga ia mengambilku. Semoga ia memindahnamakanku atas nama dirinya. Please, aku sungguh berharap ...

Ah, ternyata nasib baik masih menaungiku. Aku diambil oleh N.N. Luar biasa gembiranya hatiku. Rasanya, seperti terentaskan dari lembah duka. Terangkat dari kepapaan. Oh, indahnya demi melihat tubuhku dipermak, diperbaiki, dipoles, dielus-elus, dan di make-up sedemikian rupa. Organ dalamku pun diganti yang baru. Rasanya, oh rasanya, aku seperti dilahirkan kembali. Rasanya seperti bangkit dari kematian. Aku dikembalikan pada wujudku di masa muda. Yes, aku kembali. Kembali ke masa mudaku !

roda kanan belakang dari mobil dodge 1948, koleksi Tembi rumah budaya, foto: a.sartono
Ini roda bagian belakang kananku

Ketika aku telah kembali menjadi seperti masa mudaku, aku pun diboyong ke kota budaya, Yogyakarta. Aku ditempatkan pada sebuah ruang yang dinamakan bangunan Kuncung di depan sebuah Pendapa. Aku menempati ruang terhormat dari denah rumah Jawa yang terletak di Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul. Sungguh aku dikembalikan pada harga diriku. Aku kembali memiliki makna. Dikembalikan kepada martabatku. Tentu saja aku sangat berterima kasih kepada N.N. yang ternyata adalah pemilik dari rumah berpendapa di Tembi yang tidak lain merupakan kompleks kantor, museum, ruang pamer, rumah inap, warung dhahar, sekaligus laboratorium kebudayaan.

Tidak terbayangkan. Ternyata aku menjadi bagian dari pernak-pernik kebudayaan itu sendiri. Tidak kusangka, aku dijadikan sebagai salah satu benda koleksi dari kompleks yang baru saja kusebut yang tidak lain merupakan pengejawantahan dari kiprah yayasan kebudayaan.

Penempatanku di Kuncung Pendapa Tembi itu pun tidak serta merta diletakkan begitu saja. Penempatan itu dilakukan dengan upacara resmi. Aku sungguh merasa tersanjung sekaligus terhormat. Seiring dengan hal itu aku pun diberi nama baru: SI Tembi. Benar, aku kembali menjadi si hitam manis, Si Tembi.

Sejak itu pulalah aku sering dijadikan obyek foto dari berbagai kalangan. Mereka kagum atas sosokku yang menurut mereka antik, elok, dan anggun. Sosok sepertiku kini telah langka. Ya, aku adalah bagian dari kelangkaan itu.

Selain dijadikan obyek bidikan kamera foto dan video, aku juga sering digunakan untuk menjemput tamu. Baik di bandara maupun stasiun. Pada dua tempat itu aku juga sering mengundang decak kagum. Bukan hanya itu, kini di mana pun aku berada aku mengundang kekaguman orang. Maaf, bukan narsis, congkak, atau ge er, namun ini adalah kenyataan yang terjadi pada diriku.

roda kiri depan dari mobil dodge 1948, koleksi Tembi rumah budaya, foto: a.sartono
Roda depan kiriku dalam lindungan spakbor yang berbentuk khas

Banyak pengantin menggunakanku untuk kirab atau prosesi perarakan. Baik menuju ijab maupun seusai ijab. Pengemudiku pun tidak main-main. Ia sering berseragam khusus ketika menggunakanku untuk kirab. Aku, si hitam manis, Si Tembi, siap menantimu untuk memotretku atau mengendaraiku. Kutunggu hadirmu di Tembi Yogyakarta. Ingat aku, si hitam manis, Si Tembi. Sekali mengenalku kamu pasti akan mengenangku.

A. Sartono



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta