Gua-Gua Jepang di Pundong, Bantul, Jogja: Tantangan Petualangan yang Lain
Wilayah Kecamatan Pundong yang masuk dalam kawasan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki deretan bukit di sisi selatan dan berbatasan langsung dengan wilayah Kretek dan Panggang, Gunung Kidul. Pada salah satu puncak bukitnya yang bernama Bukit Ngreco dan Poyahan terdapatlah sekian banyak Gua Jepang. Tercatat bahwa Gua Jepang yang adi wilayah itu ada 19 buah. Gua sebanyak itu bisa dikatakan hampir memenuhi semua sisi puncak bukit tersebut. Gua-gua ini saat ini memang tidak digunakan lagi. Keberadaan gua ini pada saat sekarang juga relative kurang terawat. Bahkan beberapa gua di antaranya telah mengalami kerusakan dan keruntuhan yang cukup parah.
Gua-gua di Poyahan dan Ngreco Seloharjo, Pundong, Bantul ini dulunya memiliki parit-parit yang saling berhubungan satu sama lain. Akan tetapi parit-parit itu pun kini sangata sulit dilacak kembali. Semua parit tersebut telah tertimbun tanah akibat erosi tanah yang dibawa oleh air hujan.
Gua-gua itu sengaja dibuat oleh bala tentara Jepang sebagai tempat pertahanan sekaligus pengintaian akan datangnya musuh dari Pantai Selatan Jawa. Berdasarkan hal itu dapat diperkirakan bahwa gua-gua itu dibangun pada tahun 1940-an. Jika orang masuk ke dalam benteng-benteng tersebut dan mencoba mengintai dari lubang-lubang pengintaiannya, maka akan tampak hamparan laut luas di sisi selatan Bantul. Dari benteng-benteng itulah bala tetara Jepang dapat melihat kedatangan kapal-kapal yang kemungkinan mendarat dari arah selatan (Samudera Indonesia). Benteng di Pundong ini merupakan bentuk antisipasi Jepang dalam menanggulangi kedatangan Sekutu dari sisi selatan Pulau Jawa. Oleh karenanya pula semua gua di bukit Poyahan-Ngreco ini memiliki lubang pengintaian yang mengarah ke Laut Selatan.
Bentuk ruang dalam dari masing-masing gua ini pun berbeda-beda. Ada yang berbentuk seperti huruf L, ada yang berbentuk seperti huruf U, ada pula yang berbentu persegi dengan ruang yang relatif luas dan dilengkapi dengan kursi atau tempat duduk yang terbuat dari beton. Ada pula yang dilengkapi dengan kamar-kamar. Hampir semua gua tersebut ditempatkan pada tempay yang memang tersembunyi dan tidak mudah dilihat begitu saja. Kontur tanah yang berbukit-bukit di tempat tersebut membuat Jepang merasa seperti menemukan tempat ideal untuk mendirikan gua-gua pengintaian-pertahanan.
Tembi berusaha menyusuri gua-benteng sisa Perang Dunia II itu dengan mengendarai sepeda mnotor bebek. Tidak mudah mencapai lokasi ini. Ruas jalan dari Dusun Ngreco hingga bukit tempat gua itu berada bisa dikatakan merupakan ruas jalan yang mirip kali mati. Permukaan jalannya melulu terdiri dari batuan yang telah lepas ikatannya dari aspal yang tererosi. Jadi sangat mudah longsor ketika terlindas roda. Kecuali itu, jalanan tersebut full tanjakan dengan satu sisi jalan berupa jurang-jurang nan dalam serta sisi lainnya berupa dinding bukit yang dapat dipastikan, rawan longsor. Harap siap mental dan fisik untuk menyusuri jalan ini. Kecuali itu harap siap minuman sebab perjalanan yang sulit akan membuat fisik dan mental terperas. Asupan minuman penting untuk menjaga agar jangan sampai kehausan dan lemas.
Ketika sampai di puncak Tembi pun celingukan ke sana-kemari untuk mencari lokasi 19 gua di puncak-puncak dari pegunungan atau bukit tersebut. Tidak ada petunjuk apa pun untuk mendeteksi keberadaan 19 Gua Jepang ini. Insting dan ketajaman membaca jalan setapak menjadi andalan Tembi untuk ”mengendus” keberadaan gua-gua tersebut. Sengaja Tembi tidak meminta pemandu untuk menuju lokasi karena Tembi ingin menguji diri sendiri dalam ”menemukan’ gua-gua tersebut.
Panas yang terik di bulan Agustus awal September membuat Tembi ”megap-megap” kepanasan dan kehausan. Maklum, Tembi tidak membawa bekal minuman ketika menuju lokasi ini (salah sendiri). Ternyata area perbukitan yang luas benar-benar menyuilitkan Tembi untuk dapat menemukan 19 gua di wilayah itu. Alhasil Tembi hanya bisa menemukan 13 gua saja. Itu pun kondisi fisik Tembi sudah demikian loyo, kepanasan, kehausan, kelaparan, kelelahan. Ditambah lagi, tidak ada tempat berteduh di atas bukit itu. Hampir semua pohon mengering. Dalam pulang Tembi sempat terjatuh dua kali dari kendaraan sepeda motor bebek karena jalanan benar-benar sulit dilalaui dan sungguh rawan longsor. Sekalipun kejatuhan Tembi tidak keras, namun cukup memberi efek lebam dan luka parut (meski hanya kecil).
Petualangan seperti ini sesungguhnya cukup menantang bagi siapa saja. Sama seperti para petualang lain Tembi merasa mengalami semacam ekstase atau katarsis (nyombong) seusai melakukan petualangan itu.
Ke Yogya yuk ..!
a.sartono
Artikel Lainnya :
- SATE AYAM PODOMORO(28/09)
ALUN-ALUN KIDUL TAHUN 1920(17/10) - Saatnya Masyarakat Peduli Museum(11/04)
- PENJUAL BUNGA TABUR DI YOGYAKARTA(01/01)
- Kitab Si Taloe. Gambar Watjan Botjah 1909 - 1961(30/11)
- KAMPUS BIRU MENJADI PASAR TIBAN(01/01)
- STASIUN-STASIUN DI YOGYA YANG MERANA(01/01)
- 3 Maret 2010, Kabar Anyar - TRADISI MASA LALU DI DALAM KRATON(03/03)
- Daftar Buku(18/05)
- Obbie, Sang Penjaja Suara(02/05)