Upacara Bendera dengan Busana dan Bahasa Jawa di Jogja
Kota atau Negari Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri tanggal 7 Oktober 1756. Akhir-akhir ini hari jadi kota gudeg ini diperingati dengan upacara di sekolah-sekolah, khususnya sekolah-sekolah yang berada di wilayah kota. Peringatan dengan upacara itu pun kelihatan istimewa karena semua siswa dan guru melaksanakan itu semua dengan mengenakan pakaian tradisional Jawa, khususnya pakaian Jawa gaya Yogyakarta. Tentu, mau tidak mau mereka yang terlibat di dalamnya dibuat sibuk karenanya. Seperti diketahui, berpakaian tradisional (Jawa) tidak lagi menjadi persoalan yang sederhana bagi keluarga-keluarga Jawa saat ini. Dapat diduga bahwa dalam keluarga-keluarga tersebut tidak lagi ada perangkat pakaian tradisional Jawa. Hal demikian bukan disebabkan oleh karena mereka tidak mampu membelinya, akan tetapi lebih dilandaskan pada alasan bahwa pakaian demikian itu tidak praktis dan saat ini kurang fungsional.
Sekalipun demikian, untuk mengingatkan kembali generasi muda akan tradisi dan budaya sendiri mereka perlu dikenalkan pada hal-hal yang demikian. Sebab siapa lagi yang akan menjadi orang yang tahu akan kebudayaan lokal kita jika bukan generasi muda kita sendiri. Upacara bendera dengan mengenakan busana tradisional Jawa merupakan salah satu upaya untuk mengenalkan generasi muda akan budaya yang menjadi bagian hidup dari mereka sendiri, orang tua, dan leluhur mereka. Aneh rasanya jika mereka sampai tidak mengerti akan budaya lokal yang melingkupi hidup mereka. Melingkupi hidup nenek moyang mereka sendiri dan mungkin akan melingkupi hidup anak cucu dan keturunan mereka kelak.
Upacara dengan menggunakan busana tradisional Jawa yang dilakukan di lingkungan-lingkungan sekolah di wilayah Kota Jogja ini juga dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Jawa. Mungkin hal ini juga terdengar aneh. Maksudnya, memang tidak atau belum terbiasa. Istilah-istilah yang digunakan dalam upacara yang dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Jawa ini mungkin bagi awam kecuali terdengar aneh juga lucu. Bagaimana tidak jika istilah pemimpin upacaranya diganti dengan istilah ”manggalayuda”, istilah gerak atau grak diganti ”gya”. Lencang depan diganti dengan istilah ”rentes ngarsa”. Siap grak diganti dengan istilah ”siyaga yitna gya”. Tegak grak menjadi ”jejeg gya”. Istirahat di tempat menjadi ”sumene papan gya”. Istilah amanat dari pemimpin upacara diganti menjadi ”sabdatama pangarsaning upacara”. ”Pangarsaning bregada” diberlakukan untuk menggantikan istilah komandan regu.
Untuk istirahat di tempat sendiri pola atau posisi tubuh memang seperti istirahat di tempat seperti yang selama ini dikenal, yakni kaki sedikit merenggang (mbegagah), namun kedua tangan tidak diletakkan di belakang punggung. Untuk sumene papan gaya Jawa ini kedua telapak tangan diletakkan di bagian depan tubuh (di bawah bawah pusar). Posisi telapak tangan kiri berada di dalam dengan posisi telapak tangan kanan memegang (menutupinya). Posisi demikian dalam khasanah budaya Jawa dikenal dengan istilah ngapurancang. Untuk posisi menghormat pun tidak dilakukan dengan mengangkat tangan kanan setinggi pundak dengan jemari dimekarkan serta saling merapat kemudian diletakkan di sisi pelipis kanan. Akan tetapi posisi menghormat dalam upacara format Jawa ini dilakukan dengan menundukkan kepala.
Tidak mudah melaksanakan upacara bendera dengan hal-hal seperti tersebut di atas. Tidak aneh jika sekolah-sekolah di Jogja terpaksa menggunakan jasa para MC bahasa Jawa untuk keperluan hal ini. Pada tahap awal mungkin memang tidak mudah. Akan tetapi jika semuanya dilaksanakan dengan rutin hal demikian mungkin juga akan menjadi sesuatu yang biasa bahkan mungkin mentradisi.
Ke Yogya yuk ..!
a.sartono
http://kasakusuk.com/
http://www.sauninestringorchestra.com/
http://www.ncommeventorganiser.com