DOLANAN DEKEPANMenurut kamus bahasa Jawa “Baoesastra Djawa” karangan WJS Poerwardarminta (1939), kata /didekep/ berarti dipegang atau ditutupi menggunakan telapak tangan yang disatukan dan digelembungkan (atau ditengkurabkan). Dalam bahasa Indonesia muncul kata mendekap. Dari kata tersebut, kemudian muncul istilah /dekepan/ dan dipakai oleh anak-anak masyarakat Jawa sebagai salah satu jenis permainan tradisional. Kemudian nama dolanan itu terkenal dengan nama dolanan Dekepan. Memang tidak menyimpang jauh dari makna kata aslinya. Dalam dolanan Dekepan itu, anak-anak menggunakan tangan dan telapak tangan untuk bermain tanah dan kecik.

Pada tahun 1930-an, dolanan ini merata dikenal oleh anak-anak di berbagai wilayah di DIY, baik di kota maupun kabupaten, seperti daerah-daerah yang menjadi lingkup penelitian yang dilakukan sekitar tahun 1980-an oleh Sukirman Dharmamulya. Bisa jadi daerah lain juga mengenalnya dengan nama dolanan yang berbeda. Daerah-daerah pedesaan pada awalnya yang lebih banyak mengenal dolanan ini. Kemudian menyebar ke daerah kota. Sementara dolanan ini lebih didominasi oleh anak-anak perempuan jika dibandingkan dengan anak laki-laki. Walaupun dalam perkembangannya, kadang-kadang anak laki-laki ikut bermain di dalamnya.

Dolanan ini pun juga tidak dibedakan atas strata sosial dari para pemainnya yang bermain dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan upacara ritual tertentu. Dolanan ini muncul sebagai media hiburan bagi anak-anak khususnya yang ada di pedesaan. Anak-anak biasa memainkan dolanan ini pada waktu siang atau sore hari, di saat cuaca atau suasana masih terang benderang. Sangat sulit dan jarang dimainkan pada malam hari, biar pun saat bulan purnama. Karena media bermain utama adalah tanah dan kecik (biji tanjung, sawo, dan sejenisnya).

Dekepan, mungkin menjadi dolanan yang sangat asing bagi anak-anak perempuan sekarang. Namun tidak demikian dengan anak-anak zaman dulu di era 1930-an, di mana zaman itu, masih sangat jarang macam-macam mainan. Pada zaman itu, dolanan ini biasa dimainkan oleh anak-anak sekitar usia 6—8 tahun. Dolanan ini harus dimainkan secara berpasangan, minimal 2 orang. Jika lebih dari 2 orang, maka permainan dikelompokkan, namun tetap berpasangan dua-dua. Sementara media yang dipakai adalah lahan bermain tanah dan kecik.

Apabila ada 4 anak yang hendak bermain, misalkan pemain A,B,C, dan D, maka mereka segera menuju ke lahan bermain berupa tanah. Sebelumnya masing-masing anak menyiapkan kecik, jumlahnya antara 1—5 biji dan juga gundukan tanah sebesar lengan tangan memanjang sekitar 30 cm, jumlahnya sesuai dengan jumlah pasangan yakni 2 buah. Setelah itu, anak-anak berpasang-pasangan, misalkan A berpasangan dengan B, pemain C berpasangan dengan D. Masing-masing pasangan melakukan sut untuk menentukan pemenangnya. Misalkan, setelah melakukan sut, pemain A dan C sebagai pemenang, sementara pemain B dan D sebagai pemain kalah.

Setelah itu, pemain A dan B berhadap-hadapan mengapit gundukan tanah tang telah dibuat. Demikian pula dengan pemain C dan D duduk berhadap-hadapan di samping pemain A dan B dan juga telah mengapit gundukan tanah. Pemain A dan C siap memasukkan kecik-kecik ke dalam gundukan. Sebaiknya jumlah kecik yang akan dimasukkan ke dalam setiap gundukan sesuai dengan kesepakatan, misalkan berjumlah 1,2,3 dan seterusnya. Sebelum pemain A dan C memasukkan kecik-kecik ke dalam gundukan tanah, pemain B dan D sebagai pemain kalah harus menutup matanya rapat-rapat. Tujuannya agar tidak tahu letak kecik yang dimasukkan ke dalam tanah. Selain itu, dalam menutup mata menguji kejujuran pemain dadi, apakah dia benar-benar bermain jujur atau tidak. Jika tidak jujur, tentu akan mudah menebak letak kecik yang ditaruh di dalam gundukan tanah.

bersambung

Suwandi

Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk., 2004, Yogyakarta, Kepel Press



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa YogyakartaEntertainment News
http://kasakusuk.com/Sa Unine
http://www.sauninestringorchestra.com/ncomm
http://www.ncommeventorganiser.com