Judul : Rijsttafel. Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870 - 1942
Penulis : Fadly Rahman
Penerbit : Kompas Gramedia, 2011, Jakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : 140
Ringkasan isi :

Rijsttafel. Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870 - 1942

Selama bertahun-tahun Indonesia pernah mengalami penjajahan oleh Belanda. Walaupun banyak menimbulkan kepahitan tetapi menyisakan banyak hal yang bahkan sampai sekarang masih dapat dirasakan. Tidak dapat diingkari bahwa pada masa tersebut terjadi interaksi kebudayaan di antara keduanya.

Seperti umumnya tatanan masyarakat di tanah koloni, orang Eropa (dalam hal ini Belanda) dikenal sebagai kelas sosial tertinggi yang senantiasa menjaga eksklusivitas atau membatasi hubungan dengan kelas sosial yang dianggap rendah yaitu pribumi. Namun pengaruh masyarakat yang dikoloni nyatanya deras mempengaruhi kehidupan keseharian mereka. Demikian pula sebaliknya masyarakat pribumi menyerap dan terpengaruh unsur-unsur kebudayaan penjajah. Salah satunya dalam hal makanan atau kuliner.

Kemunculan dan berkembangnya kebudayaan campuran ini, pada mulanya timbul dan didukung oleh karena adanya larangan pejabat Eropa (kecuali pejabat tinggi) membawa istri dan juga karena larangan mendatangkan wanita Eropa ke Hindia Belanda. Untuk mengatasinya mereka mengambil wanita pribumi sebagai “istri” sehingga menghasilkan gaya hidup campuran. Setelah Terusan Suez dibuka (1869) populasi orang Eropa (Belanda) semakin meningkat (juga kaum wanitanya), sehingga berdampak besar pada perubahan sosial budaya. Mereka mau tidakmau harus beradaptasi dengan keadaaan di Hindia Belanda, termasuk dalam hal makanan. Kebiasaan makan nasi dan makanan pribumi lain, dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga Belanda seakan menjadi hal yang tak terpisahkan. Kebiasaan makan nasi dari generasi ke generasi pada akhirnya menjadi budaya tersendiri dalam ruang lingkup kehidupan orang-orang Belanda, yang kemudian memunculkan istilah khusus yaitu risjttafel. Risj berarti nasi atau beras yang sudah dimasak, tafel selain berarti meja juga bermakna kias untuk hidangan. Nasi yang bagi penduduk pribumi merupakan hidangan biasa sehari-hari, oleh Belanda pada akhirnya dikemas menjadi hidangan yang resmi dan mewah.

Fenomena risjttafel sebagai bentuk gaya hidup sebenarnya semacam penekanan seni boga adiluhung terhadap hidangan pribumi. Dalam pandangan orang Eropa syarat seni boga adiluhung tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahan-bahan makanan yang dapat diolah menjadi beragam jenis masakan. Risttafel pada dasarnya merupakan fenomena yang muncul dari kebiasaan, lalu membentuk ciri khas budaya makan yang unik. Risjttafel sendiri memang sangat identik dengan budaya orang-orang Belanda di wilayah koloninya, meskipun kenyataannya, jika melihat segi hidangan, unsur pribumi sangat dominan. Risjttafel kemudian dikemas menjadi lebih formal dan dijadikan simbol status sosial orang Belanda. Sementara itu pengaruh risjttafel yang pada awalnya muncul di kalangan elit pribumi (priyayi) tampak dari penggunaan piranti makan Eropa (sendok, garpu, pisau) dan menu hidangan campuran Jawa serta Eropa seperti beafstuk, resoulles, soep. Kebalikannya keluarga Belanda dan keturunannya mengenal dan pada waktu-waktu tertentu menghidangkan nasi, soto, nasi goreng, gado-gado, nasi rames, dan sebagainya.

Memasuki abad ke 20 risjttafel mengalami semacam formalisasi yang melahirkan berbagai bentuk inovasi penyajian sehingga menunjukkan perkembangan penting dan menarik. Seiring semakin pesatnya perkembangan modernisasi di Jawa, industri pariwisata pun mengalami kemajuan. Hal ini turut membawa dampak terhadap kemunculan sarana wisata seperti hotel. Hotel-hotel kelas satu, untuk memikat para wisatawan, menyediakan makan siang dengan menu risjttafel. Standar penyajian dikemas semewah mungkin sebagai daya pikat. Apabila penyajian risjttafel di lingkungan rumah tangga ditunjukkan dengan penggunaan tenaga pelayan dan jumlah hidangan yang disajikan lebih untuk kalangan terbatas, di ruang makan hotel penyajian ditunjukkan dengan besarnya jumlah pelayan serta banyak dan beragamnya kuantitas hidangan untuk konsumsi skala besar.

Popularitas risjttafel mulai redup ketika Jepang berkuasa di Indonesia (1942). Faktor utama adalah kepulangan orang-orang Belanda ke negeri asal mereka menjelang pendudukan Jepang tersebut, dan pelarangan dari Jepang untuk menggunakan berbagai hal yang berbau Eropa (Belanda).

Baca yuk ..!

Teks : Kusalamani


Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta