Judul : Citra Perempuan di Hindia Belanda
Penulis : Tineke Hellwig
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, 2007, Jakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xi + 122
Ringkasan isi :

Citra Perempuan di Hindia Belanda

Seorang Belanda, Cornelis de Houtman pada tahun 1596 beserta armadanya berhasil berlabuh di pantai utara Jawa dalam rangka mencari rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di negara-negara Eropa. Keberhasilan ini diikuti pelaut-pelaut Belanda lainnya. Untuk menghindari persaingan dagang dan juga menghadapi pedagang-pedagang dari negara lain, didirikan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie. Pekerja VOC terdiri dari sipil dan militer. Pendeta dan tenaga suka rela keagamaan juga ada untuk melayani masalah peribadatan dan kerohanian.

Mayoritas penduduk kulit putih adalah bujangan. Jan Pieterzoen Coen (Gubernur Jendral VOC tahun 1618-1623 dan tahun 1627-1629) yang menentang hubungan di luar perkawinan mendukung kaum perempuan pendatang dari Negeri Belanda. Namun dalam SK tahun 1632, Kompeni memutuskan untuk tidak mensponsori lagi perempuan-perempuan yang hendak ke Hindia Belanda. Oleh karena itu Kompeni menempuh kebijakan, lelaki Belanda diijinkan beristri penduduk Asia. Bahkan untuk mendukung hal tersebut Kompeni membeli budak perempuan untuk dijadikan istri bujangan. Tetapi lelaki Kristen dilarang menikah dengan perempuan non Kristen. Agar dapat menikah si perempuan harus dibaptis terlebih dahulu. Sebagai kompensasi ia memperoleh kewarganegaraan suaminya. Anak-anak yang lahir hanya boleh dibaptis apabila ibu mereka orang Kristen yang aktif menganut agamanya. Dalam era VOC ini orang Eropa selalu memerlukan ijin untuk menikah. Karena keadaan ini menyebabkan banyak pergundikan, di mana lelaki Eropa (Belanda) hidup bersama perempuan Asia tanpa pernikahan. Pejabat-pejabat VOC di kalangan yang lebih tinggi umumnya mempunyai hubungan lebih erat dengan perempuan setempat baik sebagai istri maupun gundik. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menikah di Hindia Belanda juga, khususnya anak-anak perempuan sangat dicari-cari untuk dijadikan calon istri.

Sekalipun terjadi perkawinan resmi, pergundikan waktu itu merupakan hal yang sering terjadi. Banyak istilah untuk menamakan gundik, dan yang paling umum adalah “nyai”. Dalam istilah Belanda disebut huishoudster, bijzit, menagerie dan meid. Seorang “nyai”bisa dikatakan tidak mempunyai hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, juga terhadap posisinya sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan begitu saja oleh majikannya. Di kalangan ketentaraan seorang “nyai” kadang-kadang diserahkan begitu saja kepada lelaki Eropa lainnya. Anak-anak hasil hubungan ini sangat banyak jumlahnya. Mereka dengan mudah bisa ditinggalkan begitu saja oleh bapaknya atau diserahkan ke panti asuhan, atau diambil dan dipisahkan dengan ibu kandungnya. Pengesahan mulai dilakukan dengan adopsi dan setelah tahun 1828 melaui pendaftaran anak dalam daftar kelahiran. Semenjak adanya adopsi muncul kebiasan pemutarbalikan nama keluarga. Seorang anak yang lahir di luar nikah dan diadopsi bapaknya sendiri, misal diberi nama keluarga Kijdsmeir (dari van Riemsdijk), Rhemrev (dari Vermehr), Snitsevorg (dari Grovestins), Esreteip (dari Pieterse).

Selama dua ratus lima puluh tahun pertama hanya sedikit perempuan Eropa yang menetap di negeri jajahan ini. Di rumah yatim piatu anak-anak perempuan dibesarkan dengan tata cara Belanda Ini adalah salah satu upaya serius Kompeni menjadikan mereka warga negara Belanda yang layak. Perempuan-perempuan Eropa dan Indo diperuntukkan menjadi istri lelaki kulit putih. Dengan demikian terwujud golongan rasial dan sosial keturunan campuran yang dalam abad-abad sesudah itu memainkan peranan penting.

Dengan terwujudnya Undang-undang Dasar di Negeri Belanda tahun 1848, peundang-undangan di Hindia Belanda ikut berubah. Menurut kode sipil, agama bukan lagi penghalang perkawinan. Seorang Eropa dapat menikahi seorang Asia dengan syarat mengikuti hukum Eropa. Akibatnya banyak terjadi perkawinan campuran. Tetapi dalam kenyataan pergundikan tetap berjalan dengan berbagai alasan, bisa karena masalah perijinan, biaya atau karena sudah mempunyai istri resmi.

Kasus perempuan Eropa yang menikahi lelaki Asia sangatlah luar biasa. Pada abad ke 18 diperlukan ijin khusus dari Gubernur Jendral. Hanya di Maluku dan Manado, di mana seperti abad-abad silam, perkawinan campuran tetap berlangsung sesuai dengan tradisi Kristen, lelaki setempat mengawini perempuan Eropa.

Sekitar tahun 1870 pembudidayaan tanaman ekspor meledak dan perkebunan-perkebunan bermunculan. Untuk mencari daerah yang cocok asisten perkebunan bahkan menjajagi daerah-daerah yang cukup terpencil. Oleh karena itu untuk asisten perkebunan dicari yang masih bujangan. Di samping biaya hidup lebih ringan, seorang istri (Eropa) dianggap tidak cocok hidup sebagai perintis. Baru setelah enam tahun diijinkan menikah. Tahun 1922 barulah larangan itu dihapus. Tetapi bukan berarti selama itu mereka hidup sendiri. Mereka bisa hidup bersama dengan seorang “nyai”, yang akan mengajari bahasa dan adat istiadat setempat. Merupakan hal yang biasa apabila seorang asisten perkebunan setelah enam tahun cuti dan pulang ke negeri Belanda untuk menikah. Setelah kembali bersama istrinya, mau tidak mau harus menghadapi masa lampau seorang bekas “nyai” dan anak-anak sebelumnya (voorkinderen, anak sebelum bapaknya menikah/anak dengan “nyainya”).

Pada tahun 1898 Regeling op de Gemengde Huwelijken (Peraturan tentang Perkawinan Campuran) diberlakukan. Di dalamnya dinyatakan bahwa seorang istri mempunyai kedudukan yang sama dengan suami. Hal ini menyiratkan bahwa seorang anak dari ibu berkebangsaan Asia hanya dapat diakui jika akibat perkawinan itu ibu menjadi berkebangsaan Eropa. Seorang “nyai” dengan anak-anak diakui oleh bapak yang berkebangsaan Eropa, sepenuhnya kehilangan hak atas anak-anak tersebut, apabila si bapak telah menikah dengan perempuan Eropa dan si “nyai” tidak diperlukan lagi.

Antara tahun 1890 sampai 1920 jumlah laki-laki yang berimigrasi ke Hindia Belanda meningkat 200 % sedang perempuan 300 %. Salah satu hasil dari kehadiran perempuan Eropa ini adalah Eropanisasi pesat dari masyarakat Hindia Belanda. Para Eropa totok membentuk lapisan atas dan diskriminasi meningkat. Kaum Indo menjadi terbelah dan gelisah karena darah campurannya. Pergundikan menjadi semakin tidak disetujui dan kecanderungan ke arah perkawinan menjadi semakin jelas. Kalau pun ada yang mempunyai “nyai” cenderung untuk disembunyikan. Para perempuan Eropa ini seakan-akan memikul tanggung jawab untuk menjaga lelaki Eropa agar selalu berada di jalan yang benar.

Cara kehidupan di Hindia Belanda ini sangat terpengaruh oleh banyaknya perubahan-perubahan sosial dan ekonomi dalam dasawarsa sekitar peralihan abad ke 19. Standar moral ganda menjadi jelas secara tajam. Sistem pergundikan diterima dan dijalankan sebagai kejahatan terpaksa. Ada yang mengkaitkan dengan pelacuran, keduanya berada tanpa ikatan pernikahan dan tidak menuruti hukum dengan hanya sedikit perbedaan di antara keduanya. Dan yang menjadi korban adalah perempuan baik perempuan Eropa (Belanda), Indo, lebih-lebih perempuan pribumi, karena tidak berdaya untuk melawan.

Baca yuk ..!

Teks : Kusalamani


Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta