Durgandini (4)
Sang Dewi Durgandini atau Dewi Setyawati memang terpaksa harus merelakan Abiyasa anak satu-satu yang setelah tidak menyusu, dibawa oleh Palasara suaminya ke pertapaan Saptaarga. Lebih baik berpisah daripada harus mendampingi Palasara dan Abiyasa menjadi petapa di gunung Saptaarga, jauh dari keraton Wirata.
Baginya, hidup sebagai petapa tidak jauh berbeda dengan hidup menderita seperti yang pernah ia jalani sejak kecil hingga dewasa, yaitu hidup yang dibuang, menjadi penjual jasa penyebrangan dengan perahunya di sungai Yamuna. Maka jika saat ini ia meninggalkan keraton Wirata untuk mengikuti Palasara sama artinya ia sengaja mengulangi penderitaannya.
Semenjak Palasara membebaskan penyakit dan penderitaannya, Dewi Durgandini diperkenankan kembali keraton Wirata dan menikmati fasilitas yang ada sebagai putri raja. Pada saat itu Dewi Durgandini ingat sebuah kata-kata yang berisi pengharapan yang senantiasa diucapkan Ki Dasabala ayah angkatnya: ‘Bersabarlah, ada saatnya nanti, penyakit dan segala penistaannya dihapuskan’. Dan sekarang saatnya telah tiba, semenjak ia bertemu dan menyeberangkan Palasara.
Namun jika kini ia bersama Palasara dan Abiyasa kembali naik perahu menyebrangi sungai Gangga dan sungai Yamuna, meninggalkan Wirata dan menuju Saptaarga, artinya ia siap menderita kembali bersama berbagai hal yang menyakitkan. Aku tidak siap, tidak mau menderita lagi. Aku ingin tinggal di keraton dengan segala kemewahan dan kesenangannya.
Durgandini telah menggunakan jalan pikirannya dengan benar, bahwasannya ujung dari sebuah penderitaan dan kesengsaraan adalah kebahagiaan dan kemuliaan. Tidaklah mungkin setelah bahagia dan mulia dicapai, akan kembali menderita. Kemuliaan adalah puncak dari tumpukan kesengsaraan, di mana kesengsaraan tidak ada lagi, yang ada adalah kemuliaan. Ajakan suami untuk meninggalkan keraton dan mengasuh anaknya menjadi petapa dianggap menunda atau bahkan membatalkan kesempatannya untuk merasakan kebahagiaan serta kemuliaan itu.
Sebuah pilihan telah diambil, ia telah memilih untuk tidak meninggalkan keraton, baik dengan atau tidak bersama suami dan anak. Hari-harinya dijalani dengan kesendiriannya. Abiyasa memang selalu hadir dalam angannya, namun tidak sebagai petapa kecil, melainkan sebagai calon raja di sebuah negara yang besar.
Ketika pada suatu waktu, Dewi Durgandini sedang melakukan sesuci di sungai Gangga, ia bertemu dengan Prabu Sentanu, raja Hastinapura. Dalam pandangan pertama itu Sentanu amat terkejut melihat pancaran wajah Dewi Durgandini yang mirip sekali dengan bidadari Ganggawati isterinya yang telah kembali ke kahyangan. Untuk menyakinkan bahwa yang berada di depannya bukan Batari Ganggawati, Sentanu semakin mendekat memperkenalkan dirinya kepada Durgandini, demikian sebaliknya. “Aku bukan Ganggawati sang Prabu, namaku Durgandini atau Setyawati”.
Pertemuan dan perkenalan diantara keduanya merupakan pertemuan bersejarah, yang nantinya akan membuat sejarah baru kerajaan Hastinapura. Dimulai dari kerinduan Prabu Sentanu kepada Batari Ganggawati dan rasa sepi Dewi Setyawati semenjak ditinggal Palasara suaminya dan Abyasa anaknya, keduanya semakin dekat. Ada kekosongan yang saling mengisi di hatinya. Walaupun wanita di hadapannya bukan Ganggawati, kehadiran Durgandini mampu mengobati kerinduan Sentanu kepada Ganggawati. Demikian sebaliknya, kehadiran Sentanu mampu mengobati rasa sepi Setyawati semenjak kepergian Palasara suaminya, dan Abiyasa anaknya ke Pertapaan Saptaarga.
Gayung pun bersambut. Keduanya mulai merenda benang-benang harapan, harapan akan cinta-kasih yang member daya hidup.
“Adakah yang memberatkan, jika pada suatu waktu aku datang ke Wiratha untuk melamarmu?.”
“ Tidak sang Prabu, aku berharap dan bersyukur jika sang Prabu sudi meminangku. Namun sebelumnya saya mohon maaf.”
Setyawati berhenti sejenak untuk menenangkan hati.
“Ada satu permohonan yang mungkin sangat memberatkan hati sang Prabu.”
“ Permintaan apa, Setyawati? Katakanlah!”
“Aku takut, jika hal ini aku katakana, sang prabu akan mengurungkan niatnya melamar aku.
“Tidak, Setyawati, apa pun yang akan kau katakan aku tetap akan meminangmu.”
“Sungguhkah itu Sang Prabu?.”
Prabu Sentanu mengangguk perlahan.
“Sang Prabu Sentanu, jika kelak Sang Hyang Widdi Wasa mengijinkan kita untuk bersatu dan melahirkan anak laki-laki, aku berharap agar anak kita menjadi raja di Hastinapura
Herjaka HS
Artikel Lainnya :
- PILIHAN MENU BUKA PUASA(15/08)
- 30 Desember 2010, Perpustakaan - BASIS(30/12)
- FESTIVAL MUSEUM 2011 DARI UNY KE AMBARRUKMO PLAZA(12/10)
- 14 Juli 2010, Yogya-mu - ZEBRA CROSS GAMBAR ORANG DI YOGYAKARTA(14/07)
- Mengenai Karakter Manusia(28/03)
- 30 Juli 2010, Figur Wayang - Pandhawa Dadu(30/07)
- Daftar judul buku(18/05)
- INGIN MENDAPAT GELAR SARJANA. DATANGLAH KE YOGYA(01/01)
- Macapat Lebaran dan Agustusan(01/09)