Penampilan Keluarga Bupati Kudus pada Awal Abad Ke-19
26 May 2016
Foto yang dibuat pada tahun 1867 ini memperlihatkan Bupati Kudus, Raden Mas Tumenggung (RMT) Candranegara yang dikenal juga dengan nama Purwalelana, berdiri di tengah di antara keluarganya. Kudus adalah nama sebuah kabupaten di wilayah Jawa Tengah.
RMT Candranegara melakukan sejumlah perjalanan ke berbagai tempat di Jawa dan semua pengalaman perjalanannya itu kemudian dipublikasikan di berbagai media antara tahun 1866 dan 1880. Candranegara adalah anggota dari keluarga terkenal kala itu. Bupati Pati Raden Adipati Arya Candra Adinegara, adalah pamannya. Sementara salah satu keponakan Candranegara adalah Raden Ajeng Kartini, pemrakarsa awal tentang emansipasi wanita Indonesia, yang hidup dari tahun 1879 sampai 1904.
Berdasarkan karya-karya yang dipublikasikan RMT Candranegara pada tahun 1866 -1880, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa bupati Kudus yang dimaksudkan adalah Candranegara V yang menjabat sebagai bupati Kudus pada tahun 1858-1880 dan kemudian juga menjabat sebagai bupati Brebes pada tahun 1880-1883. Dengan demikian dapat diketahui bahwa selain Candranegara V ada pula Candranegara IV (bupati Kudus 1835-1850, dan bupati Demak 1850-1866), Candranegara III (bupati Pati 1812-1830, dan bupati Kudus 1830-1835), Candranegara II (bupati Lamongan, Surabaya 1795-1808 dan bupati Pati 1808-1812), Candranegara I (Kasepuhan Surabaya 1746-1777).
Tampak bahwa antara penguasa atau pemimpin Kudus, Pati, Demak, Lamongan, Brebes, Surabaya, dan Jepara pada waktu itu memang memiliki tali-temali hubungan darah. Mungkin juga pertalian darah ini tidak hanya terbatas di wilayah-wilayah tersebut, namun kemungkinan besar juga melebar ke berbagai wilayah, terutama di Pantura, terutama wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada foto tersebut kursi yang dipakai untuk duduk merupakan kursi mewah bergaya Barat (Eropa) yang sekarang dikenal sebagai sofa. Gaya kerangka dan bingkai kayu pada kursi tersebut menegaskan kemewahannya. Demikian juga lapisan vinil beludru yang menutupi busa (kapuk) pada kursi besar tersebut.
Pakaian yang dikenakan keluarga bupati ini juga menegaskan status sosialnya. Demikian juga perhiasan berupa untaian kalung ulur dan kancing-kancing bajunya yang kemungkinan besar memang terbuat dari emas. Hal demikian juga menegaskan akan kedudukan sosial dan ekonominya yang tinggi yang pada masa itu tidak mungkin dapat dikenakan oleh rakyat biasa.
Latar belakang dari foto ini mungkin terlihat agak kurang menarik karena memang disusun dari beberapa lembar kain batik yang tidak semotif pada rentang tirai atau gedhek (dinding bambu). Penyambungan atas beberapa kain batik pada tirai atau dinding bambu ini mengesankan tidak rapi dan tampilan latar belakang (background) yang kurang cantik.
a.sartono
sumber: Wachlin, Steven, 1994, Woodbury & Page: Photographers Java, Leiden: KITLV Press.
EDUKASI
Baca Juga
- 24-05-16
Denmas Bekel 24 Mei 2016
more »
- 23-05-16
Balai Konservasi Borobudur pada 17—19 Mei 2016 lmengadakan pameran Arsip Borobudur di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Arsip Pemugaran Candi...
more »
- 19-05-16
Judul : Etnografi Masyarakat Samin di Bojonegoro (Potret Masyarakat Samin dalam Memaknai...
more »
- 19-05-16
Pameran Bersama Museum DIY di Jogja City Mall (JCM) Yogyakarta yang berlangsung 12—15 Mei 2016 cukup sukses dikunjungi oleh pengunjung mall. Dari 40...
more »
- 18-05-16
TNI Angkatan Udara menggunakan banyak istilah Jawa Kuno untuk panji-panjinya. Di antaranya: Nitya Samakta Maawarti Sarwabaya, artinya “senantiasa...
more »
- 16-05-16
Judul : Anthology of ASEAN Literatures. Pre-Islamic Literature of Indonesia...
more »
- 16-05-16
Rumah Sakit Santa Elisabeth Ganjuran berada di Dusun Ganjuran, Kelurahan Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa,...
more »
- 14-05-16
Kawasan Glodok sejak zaman dulu hingga sekarang menjadi kawasan yang terkenal di wilayah Jakarta. Demikian pula dengan sungainya yang dinamakan...
more »
- 13-05-16
Hari Rabu, 4 Mei 2016 sore-malam sebanyak 150-an mahasiswa-mahasiswi Jurusan Seni Musik dan Seni Seni Tari Universitas PGRI Palembang berkunjung ke...
more »
- 12-05-16
Judul : Korte Gids voor de Boro-Budur
Penulis ...
more »
Artikel Terbaru
- 28-05-16
Jainem adalah nama tokoh dalam kisah cerpen karya Ardi Susanti, berjudul ‘Jainem’ yang terkumpul dalam antologi cerpen ‘Pulang Ke Kotamu’. Annisa...
more »
- 28-05-16
Selli Kodong, seorang siswi SMA yang baru lulus dan sedang proses mendaftar di perguruan tinggi, memetik gitar sambil mengalunkan dua lagu puisi...
more »
- 28-05-16
Lokakarya bertajuk “Gaul Bareng Ronggeng Deli: Tradisi Hybrid dari Selat Malaka” membuka penyelenggaraan Festival Musik Tembi 2016 hari kedua....
more »
- 28-05-16
Pranatamangsa: sampai dengan 21 Juni 2016 masih terhitung mangsa Karolas atau musim Keduabelas yang disebut Saddha, umurnya 41 hari. Saat panen...
more »
- 27-05-16
Putaran ke-147 macapatan malam Rabu Pon di Tembi Rumah Budaya pada 17 Mei 2016, masih setia menggelar tikar untuk ‘njagani’ para pecinta macapat yang...
more »
- 27-05-16
Sampai saat ini musik dangdut masih menjadi musik yang disukai masyarakat kelas bawah. Konon karena liriknya yang sangat dekat dengan situasi dan...
more »
- 26-05-16
Nyai Surti, salah satu judul cerpen dalam antologi cerpen ‘Pulang Ke Kotamu’ karya Ristia Herdiana digarap dalam bentuk drama oleh Kelompok Belajar...
more »
- 26-05-16
Foto yang dibuat pada tahun 1867 ini memperlihatkan Bupati Kudus, Raden Mas Tumenggung (RMT) Candranegara yang dikenal juga dengan nama...
more »
- 25-05-16
Rasanya, ini merupakan pilihan kostum yang menarik, khas perempuan Jawa yang rindu kampung halaman. Para penulis cerpen, yang diterbitkan dalam...
more »
- 25-05-16
“Kami putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah airku Indonesia”, dengan lantang dan pemuh percaya diri komunitas Music For Everyone...
more »