Gunungan Sebagai Penggambaran Alam Semesta
22 Jan 2016
Dinamakan gunungan karena bentuknya menggambarkan gunung. Gunungan disebut juga kayon, artinya pohon. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar gambar yang ada di dalam bentuk gunungan adalah pepohonan atau kekayon.
Pada pagelaran wayang kulit fungsi gunungan sangat baku. Ia dipakai untuk bermacam-macam penggambaran, diantaranya; penggambaran sebuah pohon, batu, mega, bledug atau debu kereta dan sebagainya. Gunungan juga dipakai sebagai penanda pergantian adegan. Misalnya dari adegan jejer ke adegan kedhaton, dan berganti ke adegan paseban njaba dan seterusnya. Semuanya itu diawali dengan gerakan gunungan dan kemudian ditandai dengan posisi serta letak gunungan.
Sepanjang pagelaran wayang kulit purwa, yang menggambarkan siklus hidup manusia mulai dari lahir hingga mati, gunungan menggambarkan gerakan matahari, mulai dari terbit hingga tenggelam. Jika gunungan menancap di tengah kelir dengan posisi condong ke arah kanan, pertanda hari masih pagi sampai menjelang tengah hari. Jika gunungan berada di tengah kelir dengan posisi tegak lurus, hal tersebut untuk menandakan wanci bedug tengange, saat tengah hari. Jika posisi gunungan di tengah kelir dan condong ke kiri, saat lepas tengah hari hingga sore hari, menjelang senja.
Pada adegan gara-gara, gunungan menancap persis di tengah kelir dengan posisi tegak lurus. Dengan irama gending yang keras dan cepat gunungan lalu digerak-gerakan ke atas, ke bawah, ke samping kanan, ke samping kiri dengan irama tak beraturan, untuk menggambarkan bencana besar yang melanda dunia.
Dalam bencana besar tersebut ada empat anasir (unsur) alam yang digambarkan oleh gerakan gunungan yaitu: anasir bumi, angin, air dan api. Keempat anasir alam tersebut saling berbenturan, saling menghancurkan, tidak harmonis lagi. Maka terjadilah gara-gara. Dunia kacau balau. Gara-gara mereda, bersamaan dengan kembalinya keharmonisan alam, ditandai dengan munculnya Semar beserta ketiga anaknya, Gareng, Petruk serta Bagong.
Mengingat banyaknya penggambaran melalui gunungan, maka kemudian gunugan yang dibuat dari kulit kerbau tersebut digambar dua muka. Muka yang satu berbeda dengan muka yang lain. Biasanya pewarnaan muka yang satu mengikuti gambar ornamen yang dipahatkan. Sedangkan pewarnaan pada muka yang lainnya tidak seturut dengan pahatan yang ada. Ada yang diwarna bentuk api atau air.
Dilihat dari ornamen yang dipahatkan, ada dua jenis gunungan, yaitu gunungan lanang (laki-laki) dan gunungan wadon (wanita). Dikatakan gunungan lanang jika bentuknya lebih meruncing, ada ornament gapura, gapuran atau pintu gerbang yang dipahatkan. Namun jika bentuknya lebih membulat, ornamen yang dipahatkan berupa blumbang, blumbangan atau kolam, disebut gunungan wadon
Herjaka HS
EDUKASI
Baca Juga
- 23-01-16
Judul : Weddha Brata (Panuntun. Jilid II)
Penulis : Mas Sajimin Prawiraatmaja
Penerbit : TB...
more »
- 22-01-16
Supriyadi yang rambutnya memutih, terus mengayunkan palu, memukul besi membara yang dicapit kuat. Percikan api melesat kesana kemari. Adu palu (...
more »
- 21-01-16
Setelah rombongan SMA 1 Mejobo Kudus meninggalkan Tembi, Selasa, 12 Januari 2016, rombongan SMAN 1 Sleman yang berjumlah sekitar 190 siswa dan...
more »
- 19-01-16
Judul : Sistem Religi Komunitas Adat Bonokeling, di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas
Penulis : Bambang...
more »
- 19-01-16
Buah kelapa boleh dikatakan identik dengan identitas Indonesia atau juga negara dan pulau-pulau di Asia-Pasifik. Buah ini menjadi sesuatu yang...
more »
- 18-01-16
Judul : Bahasa Bagongan
Penulis : Soepomo Poedjosoedarmo, Laginem
Penerbit : Balai Bahasa, 2014...
more »
- 18-01-16
Satu per satu nama-nama para wisudawan kursus master of ceremony (MC) Bahasa Jawa angkatan ke-33 Tembi Rumah Budaya dibacakan untuk kemudian naik...
more »
- 18-01-16
Peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti rendah permulaannya tinggi (pada) akhirnya. Hal ini bisa dicontohkan misalnya dengan pertumbuhan...
more »
- 14-01-16
Judul : “Njaie Dasima”. Sair Tjerita
Penulis : O.S. Tjiang
Penerbit : Tjap Goan He, 1897, Batawi...
more »
- 13-01-16
Buku berbahasa dan beraksara Jawa ini dikarang oleh orang Jepang T Murakami tahun 1945 (dalam naskah asli tertulis tahun Jepang 2605) yang...
more »
Artikel Terbaru
- 23-01-16
Judul : Weddha Brata (Panuntun. Jilid II)
Penulis : Mas Sajimin Prawiraatmaja
Penerbit : TB...
more »
- 23-01-16
Perhitungan ini berdasarkan perhitungan primbon Panca Suda. Panca = lima, suda = dikurangi. Lima dikurangi satu sama dengan empat. Ada empat...
more »
- 23-01-16
Jose panggilannya, dari nama lengkap Jose Rizal Manua, adalah nama yang cukup dikenal di kalangan teater dan sastra. Selain karena aktif di teater...
more »
- 22-01-16
Dinamakan gunungan karena bentuknya menggambarkan gunung. Gunungan disebut juga kayon, artinya pohon. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar...
more »
- 22-01-16
Supriyadi yang rambutnya memutih, terus mengayunkan palu, memukul besi membara yang dicapit kuat. Percikan api melesat kesana kemari. Adu palu (...
more »
- 21-01-16
Setelah rombongan SMA 1 Mejobo Kudus meninggalkan Tembi, Selasa, 12 Januari 2016, rombongan SMAN 1 Sleman yang berjumlah sekitar 190 siswa dan...
more »
- 21-01-16
Masih ingat kesuksesan pementasan kolosal yang mengangkat kebudayaan Indonesia, “Matah Ati” yang kemudian dipentaskan di Singapura dan Kuala...
more »
- 20-01-16
Mencintai Tanah Air yang diperlukan bukan slogan dan celotehan tapi bagaimana mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat, begitu kira-kira hal...
more »
- 19-01-16
Suguhan aksi Kelompok Studi Perkusi (Kesper) berhasil menyita perhatian para penonton. Dengan menampilkan suguhan yang atraktif membuat ...
more »
- 19-01-16
Judul : Sistem Religi Komunitas Adat Bonokeling, di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas
Penulis : Bambang...
more »