Yogyakarta Layak sebagai Kota Filosofi
Author:editorTembi / Date:24-07-2014 / Salah satu ciri khas keistimewaan budaya Yogyakarta adalah Kota Yogyakarta sendiri, karya jenial Pangeran Mangkubumi. Yogyakarta merupakan ‘masterpice of creative genius’ yang tidak ada tandingannya.
Moderator Laretna T. Adishakti dengan pembicara
Daud Aris Tanudirjo dan dan Robby Kusumaharta
Kota Yogyakarta pantas menjadi ‘City of Philosophy’ (Kota Filosofi) karena kota ini ditata berdasarkan filosofi yang begitu mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, serta cerminan perjalanan hidup manusia sejak lahir hingga menghadap Sang Khalik.
Demikian dilontarkan oleh pengajar arkeologi Universitas Gadjah Mada Dr Daud Aris Tanudirjo dalam diskusi ‘Siapkah Yogya sebagai Kota Berkelas Dunia?’ di gedung Bank Indonesia, 16 Juli 2014. Pembicara lainnya adalah Dr Helene Njoto Failard dan Robby Kusumaharta, dan dimoderatori oleh pengajar dan aktivis konservasi Dr Laretna T Adishakti.
Menurut Daud, makna ini harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari saujana asosiatif (assosiative landscape) berupa sumbu imajiner penghubung dua unsur kehidupan. Sumbu imajiner Yogyakarta adalah garis linear dari Laut Selatan ke utara, melewati Panggung Krapyak, Alun-alun Selatan, Keraton, Alun-alun Utara, Tugu Golong Gilig, hingga Gunung Merapi. Menurut Daud, tidak ada kota lain yang memiliki konsep yang dikristalkan dengan jelas seperti Yogyakarta.
Daud melihat bahwa Yogyakarta adalah kota yang istimewa. Sejak awal kota ini menjadi wadah perkembangan budaya khas Yogyakarta. Karenanya, salah satu ciri khas keistimewaan budaya Yogyakarta adalah Kota Yogyakarta sendiri, karya jenial Pangeran Mangkubumi. “Yogyakarta merupakan ‘masterpice of creative genius’ yang tidak ada tandingannya,” tandasnya.
Sayangnya, keluh Daud, perubahan Kota Yogyakarta saat ini mengarah kepada pembentukan ‘kota metropolitan’ dengan ciri kepadatan lalu lintas dan bangunan tanpa pengaturan yang memadai. Serta munculnya beragam arsitektur modern yang tidak sesuai dengan budaya Yogyakarta. Akibatnya, Kota Yogyakarta akan kehilangan identitasnya sebagai ‘City of Philosophy’ yang bertaraf dunia karena Yogyakarta akan sama dengan kota-kota metropolitan lain, tanpa identitas dan daya tarik yang khas.
Pembicara Helene Njoto Failard dan Daud Aris Tanudirdjo
Pelestarian Kota Yogyakarta sebagai ‘City of Philosophy’, menurutnya, ditujukan terutama kepada keinginan melestarikan nilai luhur Yogyakarta yang dapat diwariskan kepada masyarakat lokal, bangsa Indonesia, dan dunia. Karena itu, salah satunya adalah dengan berusaha menjadikan Kota Yogyakarta sebagai Warisan Dunia (World Heritage), yang ditetapkan oleh Unesco.
Untuk menjadi warisan dunia, lanjutnya, Yogyakarta harus memiliki ‘outstanding universal value’ (nilai keistimewaan universal). Nilai yang sangat luar biasa (exceptional) segi budaya atau alam sehingga melampaui batas nasional dan memiliki arti penting bagi generasi sekarang maupun mendatang dari semua umat manusia. Dengan demikian, perlindungan permanen terhadap warisan ini merupakan kepentingan utama bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.
Karena itu, Daud menyarankan agar pemerintah mulai merumuskan nilai keistimewaan universal tersebut dengan meminta pendapat para pakar kebudayaan, sejarah, dan sebagainya, serta mencari sumber-sumber nilai yang dimiliki Yogyakarta. Sumber-sumber terulis harus dicari untuk justifikasi. Sayangnya, sumber-sumber lisan lebih banyak karena tradisi lisan lebih kuat.
Daud yakin bahwa setidaknya Yogyakarta sesuai dengan tiga kriteria World Heritage. Pertama, mewakili hasil kreativitas manusia yang genius. Kedua, menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, dalam suatu rentang waktu atau dalam suatu kawasan budaya di dunia, dalam pengembangan arsitektur atau teknologi, karya monumental, tata kota atau desain lansekap. Ketiga, secara langsung atau nyata dikaitkan dengan peristiwa atau tradisi yang berlaku, dengan gagasan, atau dengan keyakinan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai universal tinggi.
Garis imajiner Yogyakarta, dari Pantai Parangtritis sampai Gunung Merapi
Pembicara lain, Helene Njoto memaparkan Paris sebagai kota museum, kota yang kaya dengan cagar budaya. Begitu banyaknya cagar budaya di Paris sehingga kota ini kurang dinamis dan sulit membuat bangunan baru. Sedangkan Robby Kusumaharta melihat potensi Yogyakarta sebagai ‘world craft heritage city’. Terutama kerajinan batik perlu dikembangkan.
Naskah dan foto: Barata
Berita budayaLatest News
- 26-07-14
Lukisan Kaca dari Em
Pameran seni lukis kaca ini, yang berlangsung dari 11 Juli sampai 11 Agustus, baru pertama kali diselenggarakan di ruang pamer Tembi Rumah Budaya.... more » - 26-07-14
Hari Keberuntungan O
Kelebihan orang Wuku Maktal adalah sentosa budinya, setia pendiriannya. Namun, ia mudah kecewa jika pekerjaannya dianggap kurang benar oleh orang-... more » - 26-07-14
Pasinaon Basa Jawa K
Berikut ini contoh penerapan kata pada tataran bahasa Jawa saat ini, dengan keterangan: n = singkatan dari bahasa ngoko, na = bahasa ngoko halus, k... more » - 26-07-14
Benarkah di Bantul P
Mereka sempat menduga itu merupakan kerangka kuda atau sapi. Namun demi melihat struktur tulang lehernya yang kelihatan jenjang, mereka punya pikiran... more » - 26-07-14
Ada Rumah Limasan Te
Pameran foto ini menampilkan keindahan dan kekhasan aspek budaya, religi dan alam di Yogyakarta. Rencananya, foto yang dipajang akan diganti setiap... more » - 25-07-14
Pesan Visual dari Ta
Ada 7 judul karya dengan tema besar Papua Sehat yang diputar di Goethe Haus oleh Forum Lenteng. Film-film tersebut mendokumentasikan masalah... more » - 25-07-14
Main Kartu Sambil Be
Permainan kartu modifikasi ini dinamai Tatepat, singkatan dari Karuta Tembang Macapat. Karuta adalah permainan kartu di Jepang yang mengilhami... more » - 25-07-14
Mengajak Anak Muda M
Acara tersebut bukan hanya diisi dengan tembang macapat dan lantunan geguritan, namun juga pelatihan bagi generasi muda untuk bisa membuat tembang... more » - 25-07-14
Buka Bersama Seniman
Faruk HT, selaku Kepala PKKH UGM mengajak para seniman dan budayawan kembali ke UGM. Karena pada masa tahun 1970-an sampai 1980-an, ketika Purna... more » - 24-07-14
Judul Buku 93
... more »