Kuliner Jawa dalam Serat Centhini Dibedah
Author:editorTembi / Date:24-07-2014 / Ada cukup banyak nama makanan atau kuliner dalam Serat Centhini yang saat ini tidak dapat ditemukan lagi atau berkurang. Penggalian informasi akan hal tersebut menjadi cukup penting sebagai sebuah kajian sejarah boga di Tanah Air.
Christiyati Ariani, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta
Serat Centhini yang disebut sebagai ensiklopedi Jawa dan ditulis pada tahun 1814-1823 Masehi itu memuat berbagai aspek kebudayaan (Jawa), salah satunya adalah kuliner. Aspek kuliner masa lalu Jawa yang beberapa di antaranya masih lestari dan bahkan berkembang serta menjadi ikon kuliner khas wilayah tertentu itu diangkat dalam sebuah penelitian oleh tim dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta (BPNB) dengan tema “Kuliner Jawa dalam Serat Centhini”. Tim peneliti terdiri dari tiga orang, yakni Drs I Wahjudi Pantja Sunjata, Drs Sumarno, dan Dra Titi Mumfangati.
Presentasi dan evaluasi atas penelitian tersebut dilaksanakan di Hotel Cakra Kembang Yogyakarta pada hari Senin, 21 Juli 2014. Bertindak sebagai narasumber dalam acara tersebut adalah Dra Sri Ratna Sakti Mulya MHum. Moderator adalah Drs Nur Zaini MA. Sedangkan pembahas adalah Dra Suyamti MHum. Acara dibuka dengan sambutan dari Kepala BPNB, Dra Christiyati Ariani MHum.
Penelitian tersebut mencatat bahwa ada 33 tempat yang dikunjungi tokoh utama dalam Serat Centhini, yakni Seh Amongraga serta tokoh bawahan lain, seperti Cebolang. Tempat-tempat tersebut meliputi hampir seluruh Jawa, mulai Bogor (Jawa Barat) hingga Banyuwangi (Jawa Timur). Pada masing-masing tempat itulah sang tokoh mendapatkan suguhan atau sajian bermacam-macam jenis makanan. Dalam kenyataannya makanan tersebut ternyata bisa berfungsi secara sosial, ritual, dan ekonomi.
Tim peneliti kuliner dalam Sertat Centini,
Dari kiri ke kanan: Nur Zaini, Sumarno, Titi Mumfangati,
dan I.W. Pantja Sunjata
Ada cukup banyak nama makanan atau kuliner dalam Serat Centhini yang saat ini tidak dapat ditemukan lagi atau berkurang. Penggalian informasi akan hal tersebut menjadi cukup penting sebagai sebuah kajian sejarah boga di Tanah Air. Hal tersebut tidak saja menyangkut soal kebiasaan makan namun juga menyangkut soal bagaimana pangan itu diperoleh, diolah, dikemas, disajikan, dan mungkin juga diawetkan. Hal-hal demikian untuk masing-masing daerah atau tempat bisa sangat berbeda dan sangat variatif. Misalnya untuk jenis makanan semacam sega gogik dan sega growol mungkin hanya terdapat di wilayah tertentu. Demikian pun misalnya dengan sega percita, gorengan prit-glathik, dan lain-lain.
Dari aspek sosial kuliner dalam Serat Centhini ternyata juga diterapkan untuk berbagai acara dengan cara dan jenis kuliner yang berbeda-beda. Misalnya untuk acara kerja bakti atau gotong royong berbeda dengan acara hajatan pengantin. Untuk orang berkedudukan sosial tinggi berbeda pula jenis makanan dan cara penyajiannya dibandingkan untuk orang biasa. Demikian pun dalam aspek ritual. Kuliner yang disajikan dalam sadranan berbeda dengan makanan yang disajikan untuk sajen dalam acara pasang tarub, sajen pentas wayang kulit, merti dusun, dan sebagainya.
Pada perjalanannya, jenis kuliner yang diterapkan sesuai aspek-aspek tersebut ternyata tidak ketat pembatasannya. Kini bahkan orang bisa menikmati kuliner ingkung ayam lengkap setiap saat yang pada masa lalu hanya bisa dinikmati pada saat-saat tertentu, misalnya dalam ritual 1.000 hari orang meninggal. Demikian pun kuliner sebagai kelengkapan sajen seperti apem pun dapat dinikmati setiap saat pada zaman ini.
Sri Ratna Sakti Mulya, sebagai narasumber
Serat Centhini yang menceritakan perjalanan petualangan Syeh Amongraga atau Jayengresmi ini memuat banyak hal tentang kejawaan. Mulai dari ilmu perbintangan/primbon, katuranggan, perkerisan, kuliner, tanaman, firasat, seks, kesenian, ilmu agama (Islam), dan lain sebagainya.
Serat Centhini ditulis atas perintah putera mahkota Kerajaan Surakarta yang sekaligus menjadi ketua timnya, Adipati Anom Amangkunegara III, yang kelak menjadi raja dengan nama Sunan Paku Buwana V (1820-1823). Ada pun tim penulisan terdiri dari Kyai Ngabehi Ranggasusastra, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi Sastradipura.
Naskah dan foto: A. Sartono
Berita budayaLatest News
- 26-07-14
Lukisan Kaca dari Em
Pameran seni lukis kaca ini, yang berlangsung dari 11 Juli sampai 11 Agustus, baru pertama kali diselenggarakan di ruang pamer Tembi Rumah Budaya.... more » - 26-07-14
Hari Keberuntungan O
Kelebihan orang Wuku Maktal adalah sentosa budinya, setia pendiriannya. Namun, ia mudah kecewa jika pekerjaannya dianggap kurang benar oleh orang-... more » - 26-07-14
Pasinaon Basa Jawa K
Berikut ini contoh penerapan kata pada tataran bahasa Jawa saat ini, dengan keterangan: n = singkatan dari bahasa ngoko, na = bahasa ngoko halus, k... more » - 26-07-14
Benarkah di Bantul P
Mereka sempat menduga itu merupakan kerangka kuda atau sapi. Namun demi melihat struktur tulang lehernya yang kelihatan jenjang, mereka punya pikiran... more » - 26-07-14
Ada Rumah Limasan Te
Pameran foto ini menampilkan keindahan dan kekhasan aspek budaya, religi dan alam di Yogyakarta. Rencananya, foto yang dipajang akan diganti setiap... more » - 25-07-14
Pesan Visual dari Ta
Ada 7 judul karya dengan tema besar Papua Sehat yang diputar di Goethe Haus oleh Forum Lenteng. Film-film tersebut mendokumentasikan masalah... more » - 25-07-14
Main Kartu Sambil Be
Permainan kartu modifikasi ini dinamai Tatepat, singkatan dari Karuta Tembang Macapat. Karuta adalah permainan kartu di Jepang yang mengilhami... more » - 25-07-14
Mengajak Anak Muda M
Acara tersebut bukan hanya diisi dengan tembang macapat dan lantunan geguritan, namun juga pelatihan bagi generasi muda untuk bisa membuat tembang... more » - 25-07-14
Buka Bersama Seniman
Faruk HT, selaku Kepala PKKH UGM mengajak para seniman dan budayawan kembali ke UGM. Karena pada masa tahun 1970-an sampai 1980-an, ketika Purna... more » - 24-07-14
Judul Buku 93
... more »