Konser Gus Teja, Alunan Seruling dari Surga untuk Bumi
20 Jul 2016 Gus Teja, maestro seruling dari Bali, menyebut kelompok musik yang hari itu bermain bersamanya sebagai “band.” Namun tidak seperti band pada umumnya, kelompok musik Gus Teja terdiri dari enam musisi yang memainkan alat musik tradisional Bali kecuali gitar akustik.Perkusi,slokro, dan duatingklik baro adalah instrumen yang menjadi ritme dalam musik Gus Teja yang menjadikan seruling sebagai melodi utama. “Yang unik (dari band Gus Teja) adalah saya memadukan seruling dengan alat musik modern seperti gitar dan bas,” ujar Gus Teja, kelahiran Bali tahun 1982 yang bernama asli Agus Teja Sentosa.
Namun, hari itu sepertinya Gus Teja bermain minus pemain basnya. Sebagai gantinya,laptop yang terletak di sudut kanan panggung itulah yang berfungsi sebagai pemain instrumen bas elektrik yang memang menjadi bagian penting dalam musik Gus Teja.
Gus Teja membawa misi menjadikan seruling sebagai pusat perhatian dalam musiknya. Seruling berfungsi sebagai “vokalis” dan membangun suasana yang ingin dikatakannya melalui musik-musiknya.
Publik mengenal musik seperti yang dimainkan Gus Teja sebagai “world music.” Unsur etnis adalah tawaran utama dalam musik ini. Sebagai lelaki Bali,world music yang dimainkan Gus Teja menjadikan kebudayaan Bali sebagai tawaran utamanya.
Hasilnya tak terlalu mengecewakan mengingat tak banyak tempat kosong di teater dengan kapasitas 150 penonton itu. Penonton dalam acara yang tak memungut biaya tiket masuk ini didominasi oleh penonton berusia 18-35 tahun.
Situ Sayong adalah lagu pembuka yang merupakansingle dari album pertama Gus Teja yang dirilis pada 2009,Rhythm of Paradise. Komposisi ini membawa penonton ke suasana alam di Bali yang memesona dengan musik yang syahdu. Kesan itu ditambah dengan video klip berlatar panorama Bali yang memenuhi sisi belakang panggung.
Usai lagu pertama, Gus Teja menjelaskan apa yang ingin disampaikannya dalam lagu itu. Gus Teja tampaknya menganggap penjelasan seperti itu penting mengingat musiknya adalah musik instrumen yang tidak menggunakan lirik sebagai pesan lagu sebagaimana pada musik populer.
“Situ Sayong saya artikan sebagai kabut di sebuah danau.Situ itu danau dansayong itu kabut. Saya merasakan misteri di balik kabut di sebuah danau di Bali,” ujar Gus Teja.
Di lagu kedua yang berjudul Senandung Tembung, sebuahsingle dari album terakhir Gus Teja yang rilis pada 2015,Ulah Egar, musisi lulusan Institut Seni Indonesia Denpasar ini berkolaborasi dengan seorang penari bernama Dewi Aryani.
Kolaborasi ini agak kurang berhasil mengingat tata cahaya panggung yang datar hanya menjadikan sang penari sebagai penari latar. Padahal, kolaborasi ini cukup potensial karena sang penari tampaknya sangat mempersiapkan “bagiannya” dengan melapisi tubuhnya dengan warna emas.
Sampai pada lagu keempat yang berjudulRomance, Gus Teja masih memainkan lagu yang membuat penonton lupa bahwa mereka sedang berada di sebuah kota yang penuh dengan gedung pencakar langit dan lalu lintas yang terlalu padat.
Adrenalin agak sedikit menanjak ketika Gus Teja memainkan lagu keempat yang berjudulHero. Dia juga mulai memainkan lebih dari sepuluh alat tiup yang diletakkannya di depan mikropon yang menjadi alat pengeras suara musiknya.
Tiga lagu terakhir dari sekitar lebih dari sepuluh lagu yang dimainkan oleh Gus Teja adalah puncak yang menunjukkan keunikan sang musisi. Pada “Night in Bali”, Gus Teja benar-benar membuat band tradisionalnya mengeluarkan suara modern karena memainkan musik dengan irama reggae.
Sebagai musisiworld music, Gus Teja tidak hanya piawai memainkan alat musik dari Indonesia saja. Dalam lagu “Sake Sake,” dia memainkan sebuah musik riang dengan menggunakan seruling tradisional Jepang sebagai penghasil melodi.
Lagu terakhir adalah misi nonkomersial Gus Teja karena dia memainkan lagu yang menurutnya dipersembahkan untuk keragaman Indonesia,Unify. Sebuah lagu yang “meriah” dan mengajak penonton untuk berdansa.
Naskah dan foto:Ervin Kumbang
Berita BUDAYABaca Juga
- 02-08-16
Pria Sawo Matang di Antara Puisi-Puisi Dunia di Tepian Danau Zug
Musim panas telah tiba. Di Zug, sebuah kota kecil di tengah daratan Swiss dengan penduduk sekitar 28.600 jiwa, sejumlah kursi berwarna oranye bersama... more » - 30-07-16
Kemah Budaya ke-10 Berlangsung di Candi Prambanan
Iringan musik tradisional Jawa yang begitu rancak, bertalu-talu, dan meriah membuat para tamu undangan kemah budaya ikut manggut-manggut dan... more » - 29-07-16
Bincang-bincang dengan Yok Koeswoyo dan Djaduk Ferianto
Yok Koeswoyo adalah salah satu personil grup musik pop Koes Plus yang legendaris di Indonesia. Di masa jayanya, Koes Plus yang beranggotakan Yok, Yon... more » - 25-07-16
Prahara Identitas Bali dalam Sabung Ayam
Di sebuah desa terpencil di Bali pada awal April 1958, antropolog asal Amerika Serikat, Clifford Geertz, dan istrinya, dikejutkan oleh kehadiran... more » - 21-07-16
Bakda Kupat Pandeyan: Wujud Syukur dan Mengenang Jasa Para Wali
Hal demikian menjadi simbol bahwa orang yang bersangkutan mengakui bahwa dirinya tidak sempurna, lepat (salah/berdosa/lemah/berkekurangan, dan... more » - 19-07-16
Menikmati Suasana Angkringan Tembi
Apa yang terbersit dalam pikiran ketika mendengar kata ‘angkringan’? Gerobak coklat dengan rentengan minuman sachet berbagai varian, ceret yang... more » - 15-07-16
Sastra Bulan Purnama #58
Rabu, 20 Juli 2016, pukul 19.30: Sastra Bulan Purnama #58 ‘Puisi Wayang dalam Syawalan Sastra(wan)’ Launching buku antologi puisi ‘Tancep Kayon... more » - 23-06-16
In Memoriam Jon Batik Si Pemetik Gitar
Jon, tak pernah lepas dari gitar. Pada banyak pembukaan pameran di Yogya, seringkali dia tampil dengan petikan gitar untuk mengisi acara. Dia banyak... more » - 18-06-16
Dewi Nugroho, Penggagas Museum Batik dan Sulaman Yogyakarta, Telah Berpulang
Keluarga besar Badan Musyawarah Musea (Barahmus) DIY, organisasi museum di Yogyakarta, kehilangan salah satu anggotanya, yaitu Dewi Nugroho (85... more » - 13-06-16
Ini Memoriam Jihad Gunawan Penyair dan Aktivis
Jihad, demikian panggilannya dari nama lengkap Muhamad Jihad Gunawan. Usianya termasuk masih muda, 57 tahun. Tahun 1980-an dia aktif di area sastra... more »
Artikel Terbaru
- 02-08-16
Pria Sawo Matang di
Musim panas telah tiba. Di Zug, sebuah kota kecil di tengah daratan Swiss dengan penduduk sekitar 28.600 jiwa, sejumlah kursi berwarna oranye bersama... more » - 02-08-16
Ajaran Kebaikan Oran
Judul : Ajaran-ajaran dalam Naskah Singhalangghyala Parwa Penulis ... more » - 01-08-16
Macapat ke-148, Peng
Mengikuti macapat malem Rebo Pon di Tembi Rumah Budaya ibarat mengikuti pengembaraan Mas Cebolang yang penuh dengan pengalaman kehidupan baik lahir... more » - 01-08-16
Eksotisme Amphiteate
Amphiteater merupakan salah satu spot luar ruangan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Merujuk pada aspek historisnya amphiteater... more » - 01-08-16
Naura Sang Idola Cil
Terhitung sudah dua album yang diproduksi penyanyi cilik ini, yang bernama lengkap Adyla Rafa Naura Ayu. Di usianya yang ke-8 tahun putri pertama... more » - 30-07-16
Rabu Kliwon Pekan In
Pranatamangsa: memasuki Mangsa Surya II Mangsa Karo. Usia 23 hari hari terhitung mulai 2 s/d 24 Agustus 2016. Candrane: Bantala Rengka, artinya... more » - 30-07-16
Kemah Budaya ke-10 B
Iringan musik tradisional Jawa yang begitu rancak, bertalu-talu, dan meriah membuat para tamu undangan kemah budaya ikut manggut-manggut dan... more » - 30-07-16
Dalem Kanjengan yang
Ada beberapa bangunan penting selain kompleks makam raja-raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) di Imogiri yang keberadaannya tidak terpisahkan dari... more » - 29-07-16
Bincang-bincang deng
Yok Koeswoyo adalah salah satu personil grup musik pop Koes Plus yang legendaris di Indonesia. Di masa jayanya, Koes Plus yang beranggotakan Yok, Yon... more » - 29-07-16
Ki Suparman Menurunk
Sosok raja yang rendah hati, mencintai rakyatnya dan tidak mempunyai musuh seperti Prabu Puntadewa layak mendapat anugerah Kalimasada dari Batara... more »