Planet Lament di Taman Ismail Marzuki Penampilan Perdana Sebelum Keliling Dunia
Oleh: Titien Natalia - 26 0 Facebook - Twitter - Pinterest - WhatsApp“Planet Sebuah Lament” karya Garin Nugroho dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada 17-18 Januari 2020. Ini merupakan pentas perdana sebelum digelar di berbagai negara mulai tahun ini. Karya ini juga akan menjadi pembuka dalam ASIA TOPA (Asia-Pasific Triennial of Performing Arts) pada Februari 2020 di Melbourne, Australia.
Mengangkat isu lingkungan hidup, naskah pertunjukan ini dituliskan oleh Michael Kantor, sutradara teater dan opera kenamaan dari Melbourne. “Planet Sebuah Lament” merupakan sebuah ratapan alam karena keserakahan manusia. Perubahan iklim menjadikan banyaknya bencana alam di dunia dan Indonesia. Manusia kemudian mencari keselamatan untuk menemukan pangan dan energi yang diperebutkan terus-menerus.
Cerita diawali dengan sebuah renungan lewat lagu, ekspresi dan tari yang berkisah pasca tsunami, ketika manusia hanya disisakan sebuah telur sebagai simbol pangan dan energi. Sementara, plastik dan benda rongsokan tak terurai menjelma menjadi monster yang memburu energi. Sebuah pertarungan upaya keselamatan dan kebinatangan di tengah berbagai bencana alam di bumi.
Pertunjukan ini menggabungkan teater, film,dance, dan lagu yang mengusung perpaduan budaya dari Indonesia Timur (Melanesia) yang begitu kaya dengan kekayaan tari dan lagu serta tema lingkungan. Garin Nugroho mengambil referensi tablo jalan salib yang ada di Larantuka, Flores Timur. Tiap babak dinarasikan melalui paduan suara dan lagu-lagu ratapan pada transisinya.
Sebagai konsep visual, Garin memasukkan unsur empat film pendek, masing-masing 3-5 menit. Empat film pendek ini juga berfungsi sebagai ruang dan waktu, simbolisasi jalan salib dan representasi bumi atau planet.
Koreografi direpresentasikan kolektif secara apik dan naratif oleh Joy Alpuerto Ritter, Otniel Tasman dan Boogie Papeda yang mengombinasikan elemen pergerakan tubuh dari tradisi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Papua dengan gerakan-gerakan kontemporer baik personal maupun pada seluruh rangkaian acara.
Pertunjukan ini menampilkan para penari dari berbagai daerah, antara lain: Boogie Papeda, Douglas D’Krumpers, Pricillia EM Rumbiak dan Bekham Dwaa dari Papua, Rianto dari Solo, dan Galabby dari Jakarta.
Konten Terkait: Anak yang Dilahirkan pada Mangsa Ini Punya Watak Jujur dan DisiplinGerakan ritmik dari para penari diiringi musik yang digarap oleh 3 komposer muda, yaitu Septina Layan, Taufik Adam, dan Nursalim Yadi Anugerah yang mengolah komposisi-komposisi untuk paduan suara dan menjadi kekuatan utama sebagai narasi.
Karya ini mengangkat lagu-lagu lament yang langka dan banyak hilang di wilayah Papua dan NTT, yakni ratapan duka bencana untuk kebangkitan bersama, menjadi suara keselamatan alam Indonesia ke dunia.
Komposisi paduan suara ini diisi oleh Mazmur Chorale Choir asal Kupang yang dipilih melalui proses seleksi sejak akhir tahun 2018. Paduan suara yang juga menjadi juara World Choir Games 2014 di Latvia ini mengelola musik dari Flores, yang dalam kajian musik dunia disebut sebagai salah satu kekayaan musikal yang ada. Penampilan mereka sangat memukau sehingga membuat pertunjukan semakin apik.
Properti telur raksasa di atas panggung disimbolisasikan sebagai sebuah kekuatan untuk menggabungkan imaji dan kata. Sementara kostum para pemain
digarap oleh Anna Tregloan dari Australia yang sekaligus juga berperan sebagai scenographer dalam pertunjukan kali ini. Para pemeran utama mengeksplorasi kostum tradisional Indonesia Timur digabungkan dengan elemen kontemporer sedangkan paduan suara juga mengenakan kostum yang ditata khusus untuk menggambarkan ekspresi yang terjadi pada lakon di atas panggung.
Menurut Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, Garin selalu menyajikan pemikiran dan sudut pandang yang unik dalam kreativitas karyanya. Tak jarang sutradara handal tersebut menyisipkan pesan-pesan kemanusiaan untuk menjadi bahan renungan.
“Dalam pementasanPlanet Sebuah Lament ini, Garin Nugroho menyuarakan pesan perdamaian dan mengajak kita melihat alam yang semakin rentan oleh pengerusakan. Perpaduan budaya Indonesia Timur yang ditampilkan dalam gerak tubuh, musik, dan vokal juga menjadi sebuah diplomasi kebudayaan untuk memperkenalkan kekayaan Indonesia ke panggung-panggung internasional,” ujar Renitasari.