Prajurit Keraton Kasultanan Yogyakarta (1)

Author:editorTembi / Date:27-10-2014 / Kasultanan Yogyakarta sebagai sebuah negara di awal masa berdirinya memiliki tentara yang disebut bregada atau kesatuan prajurit, sebagai penjaga kedaulatan. Kekuatan militer Yogyakarta ini cukup disegani pihak kawan maupun lawan. Namun, pascapenyerangan Inggris dalam Perang Sepoy tahun 1812, kekuatan militer Yogyakarta dilemahkan.

Prajurit Nyutra mengapit Prajurit Mantrijero dengan duajanya, difoto: Minggu, 5 Oktober 2014, foto: a.sartono
Prajurit Nyutra mengapit Prajurit Mantrijero 
dengan duajanya

Kasultanan Yogyakarta sebagai sebuah negara di awal masa berdirinya memiliki tentara yang disebut bregada atau kesatuan prajurit, sebagai penjaga kedaulatan. Kekuatan militer Yogyakarta ini cukup disegani pihak kawan maupun lawan. Namun, pascapenyerangan Inggris dalam Perang Sepoy tahun 1812, kekuatan militer Yogyakarta dilemahkan.

Markas bregada yang semula berada di dalam benteng baluwarti dipaksa dikeluarkan dan ditepatkan di kampung-kampung di sekitar benteng keraton tersebut. Oleh karena itu pula nanti dikenal kampung-kampung dengan nama kesatuan prajurit di Yogyakarta, seperti Patang Puluhan, Daengan, Mantrijeron, Prawirotaman, Bugisan, dan sebagainya.

Pada 5 September 1945 Negara Kasultanan Yogyakarta melalui amanatnya yang terkenal, bergabung dengan Negara Kesatuan Repbulik Indonesia. Oleh karena itu Yogyakarta tidak lagi berdiri sebagai sebuah negara kerajaan, maka secara otomatis tugas dan fungsi bregada prajurit pun menjadi berbeda. Mereka tidak lagi berfungsi sebagai kesatuan militer alat pertahanan dan keamanan negara, tetapi sebagai penjaga nilai budaya yang turut serta bertugas menjaga kelestarian dan keberlanjutan keluhuran budaya Yogyakarta.

Prajurit Ketanggung dan Prajurit Prawiratama (baju hitam) tengah berfoto bersama warga masyarakat biasa, difoto: Minggu, 5 Oktober 2014, foto: a.sartono
Prajurit Ketanggung dan Prajurit Prawiratama (baju hitam) 
tengah berfoto bersama warga masyarakat

Bagi masyarakat Yogyakarta keberadaan bregada prajurit Keraton Yogyakarta saat ini lebih dimaknai secara kesejarahan dan filosofi yang menjelma menjadi kearifan nilai peninggalan budaya lokal atau lebih dimaknai sebagai simbol kultural dan bukan militer fungsional.

Tentang peran dan fungsi prajurit Keraton Mataram sejak zaman Panembahan Senopati (1585-1601), Panembahan Hanyakrawati (1601-1613), dan Sultan Agung (1613- 1645) telah dikenal. Mereka berperan besar dalam meluaskan wilayah Mataram dan menumpas berbagai pemberontakan.

Pada masa Perang Mangkubumen (1746-1755) yang diakhiri dengan Perjanjian Giyanti, peran militer pendukung perjuangan Pangeran Mangkubumi (putra Sunan Amangkurat IV) tentu saja tidak bisa diabaikan. Peran itu pada awalnya dilakukan oleh para pejuang, kerabat (sedherek dan sentana dalem), dan kelompok-kelompok prajurit di bawah kepemimpinan tokoh tertentu, seperti Rangga Prawirasentika. Selain itu, ada pula Pangeran Hadiwijaya, Pangeran Singasari, Pangeran Hangabehi, dan juga Pangeran Sambernyawa (kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I). Di bawah Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senopati Ingalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping I ing Ngayogyakarta Hadiningrat inilah keberadaan prajurit keraton dilembagakan.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I dan II ada 15 kesatuan (bregada) prajurit di Keraton Yogyakarta. Salah satu prajurit handal di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I ialah Prajurit Mantrijero. Salah satu prajurit dari kesatuan ini disebutkan berhasil membunuh Mayor Clereq dalam perang di Jenar pada tanggal 12 Desember 1751.

Prajurit Mantrijero dan Prajurit Wirabraja (merah) tengah beristirahat di Magangan, Keraton Yogyakarta, difoto: Minggu, 5 Oktober 2014, foto: a.sartono
Prajurit Mantrijero dan Prajurit Wirabraja (merah) tengah beristirahat 
di Magangan, Keraton Yogyakarta

Pascapenyerbuan Inggris atas Yogyakarta tanggal 20 Juni 1812, Sultan Hamengku Buwana III dan Raffles menandatangani perjanjian pada tanggal 1 Agustus 1813. Perjanjian ini salah satunya berisi paksaan agar prajurit keraton tidak lagi dalam format angkatan perang yang kuat seperti sebelumnya. Sebagaimana diterangkan dalam buku Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta pada tahun 2009, prajurit keraton diperlemah sehingga tidak memungkinkan lagi melakukan gerakan militer. Prajurit keraton hanya berfungsi sebagai pengawal sultan dan penjaga keraton. Pasukan Inggris mengawasi prajurit keraton dengan sangat ketat.

Ke Yogya yuk ..!

Naskah dan foto: A.Sartono
Sri Suwito, Yuwono, dkk., 2009, Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya, Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Yogyakarta Yogyamu

Latest News

  • 31-10-14

    Pembelajaran Luar Ru

    Sekalipun perhatian utama mereka lebih fokus pada karya lukisan yang dipamerkan, namun tidak berarti bahwa benda, bangunan, dan semua hal yang ada di... more »
  • 31-10-14

    Jakarta Pad Project,

    Di tangan anak-anak muda yang tergabung dalam Jakarta Pad Project ini, fungsi gadget lebih dieksplorasi. Dengan kreativitas mereka, gadget ini bisa... more »
  • 31-10-14

    Pulau Onrust untuk P

    Pulau Onrust akhirnya menjadi salah satu pulau yang sangat penting bagi VOC. Pulau ini dijadikan pos pertahanan terdepan untuk melindungi Kota... more »
  • 30-10-14

    Kota Yogyakarta Gela

    Semua kecamatan di Kota Yogyakarta telah memiliki kelompok ketoprak yang anggotanya tidak hanya generasi tua, namun juga pemuda, remaja, dan bahkan... more »
  • 30-10-14

    Menarik Pengunjung k

    Untuk menarik pengunjung, maka kegiatan museum harus selalu inovatif dan “up to date” sesuai dengan perkembangan zaman. Dan yang terpenting museum... more »
  • 29-10-14

    SMK Kesehatan Blitar

    Mereka menggunakan bahasa Jawa krama inggil ketika bertemu dengan orang Jawa lain. Hal ini mereka terapkan ketika berkunjung ke Tembi Rumah Budaya... more »
  • 29-10-14

    Wayang Rokenrol di R

    Folk Mataram Institute, komunitas seni yang didirikan oleh musisi Krishna Widiyanto, Samuel Indratma, dan Ong Hari Wahyu, bekerja sama dengan Awana... more »
  • 29-10-14

    Micakake Mata Melek

    Dalam pergaulan kemasyarakatan sering terjadi bahwa orang yang tahu, melihat, mendengar, dan mengerti dianggap tidak tahu apa-apa. Hal ini artinya... more »
  • 28-10-14

    Denmas Bekel 28 Okto

    more »
  • 28-10-14

    Undang-undang di Zam

    Buku kuno berbahasa Belanda terbitan tahun 1896 ini berisi tentang aneka jenis undang-undang, peraturan maupun pengumuman yang dikeluarkan... more »