Karte Wardaya, Melukis Tidak Kenal Pensiun

Author:editorTembi / Date:25-11-2014 / Di usianya yang ke-48 Karte semakin mantap dengan jalan melukis. Ia bisa menjalani profesinya di rumah, mempunyai lebih banyak waktu bergaul dengan anak-anaknya. Bahkan ia harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah.

Karte Wardaya, Denting, Tembi Rumah Budaya
Karte Wardaya (kanan) bersama Yu Beruk 
dan Giring Prihatyasono pada pembukaan 
pameran Denting Plus di Tembi Rumah Budaya, 
2012. Foto: A. Sartono

Tiada hari tanpa melukis bagi Karte Wardaya. Setiap hari ia mewajibkan dirinya untuk memegang kuas dan melukis. Tidak penting soal lamanya. Yang penting ia harus melukis dan melukis. Kedisiplinan ini sengaja ditanamkan sejak Karte memilih jalan hidup sebagai pelukis. “Kalau tidak tiap hari memegang kuas, lama-lama bisa malas melukis,” katanya.

Lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta ini tampaknya telah menemukan jalannya. Lulus pada tahun 1987, dan baru full time melukis mulai tahun 2003. Setamat SMSR, Karte bekerja di berbagai perusahaan. Ia pernah bekerja di produsen kerajinan kayu, serta menjadi penata letak periklanan, ilustrator buku pelajaran, dan art director sebuah bank terkemuka di Jakarta.

Perpindahan Karte dari pekerjaan satu ke pekerjaan yang lain bisa mencerminkan ketidaknyamanannya dalam pekerjaan itu, karena faktor jenis pekerjaannya atau karena jumlah penghasilannya. Apalagi setelah Karte menikah pada tahun 1993, keuangannya sering defisit. “Gaji saya habis sebelum akhir bulan,” akunya.

Untung istrinya, Marti Kurniawati, tipe perempuan tangguh. Ia menjaga kepulan asap dapur di rumahnya dengan membantu ayahnya berjualan sate. Warung sate ayah Marti, pak Nano --yang kondang dengan nama Sate Petir-- di Menayu Kulon, tergolong populer di Yogya,

Di sela-sela pekerjaannya, Karte mengikuti kompetisi Phillip Morris Arts Awards, dan lolos nominasi pada tahun 1995 dan 2001. Karya nominasinya tahun 2001 dibeli Edwin Gallery, Jakarta. Prestasi ini sempat menggugah dirinya untuk lebih serius melukis.

Pada tahun 2003, Karte memutuskan untuk menjadi pelukis penuh waktu, meninggalkan kerja kantoran. Ia meminta pengertian Marti bahwa pada masa-masa awal kemungkinan ia tidak dapat memberikan uang belanja. Karena dalam proses awal sebagai pelukis tidak ada jaminan lukisannya bisa terjual.

Alih-alih menolak, Marti malah mendukung keinginan suaminya. Marti, yang kebetulan memiliki hari ulang tahun dan weton yang sama dengan Karte, menenteramkan suaminya agar tidak khawatir soal biaya hidup, dan memintanya fokus melukis.

Dua tahun kemudian, pada 2005, Karte ikut berpameran bersama di Ministry Café, Prawirotaman. Lukisan ikan koinya laku. Pada tahun 2007, ia berpameran di galeri Mondecor, Jakarta. Pameran ini dilanjutkan dengan beberapa kali pameran di galeri yang sama. Karya-karyanya menarik perhatian dan diapresiasi oleh penikmat seni rupa. Malah sebagian dibeli pemilik galeri dan pengunjung pameran.

Pada tahun 2009, dari hasil melukis, Karte membeli tanah dan rumah di Menayu Lor, Jeblok Tirtonirmolo Kasihan Bantul. Ia dan keluarganya pun pindah dari rumah mertua. Seperti membuktikan bahwa sebagai pelukis ia bisa berhasil dalam dunia seni rupa sekaligus finansial.

Karte Wardaya, Denting, Tembi Rumah Budaya
Lukisan Karte Wardaya pada pameran Denting Plus di 
Tembi Rumah Budaya, 2012. Foto: A. Sartono

Pada tahun yang sama ia membentuk kelompok Denting, bersama Mulyo Gunarso, Giring Prihatyasono, Kartika Prawito U, dan Nunung Rianto. Langsung berpameran di Galeri Biasa. Lantas berturut-turut Denting berpameran di Benteng Vredeburg, Sangkring Art Project, Galeri Girng, Bentara Budaya Yogyakarta, dan  Tembi Rumah Budaya.

Karte sendiri juga rajin berpameran bersama, antara lain di Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, Museum Widayat (Magelang), dan Galeri Nasional (Jakarta). Lantas pada tahun 2014, ia berpameran tunggal di  Tembi Rumah Budaya.

Lukisan Karte umumnya berupa obyek, yang digarap secara realis. Salah satu kelebihannya adalah pada konsepnya. Ia mengaku bahwa konsep menjadi bagian terpenting dalam proses melukisnya. Setelah satu dua coretan, ia memikirkan apa yang akan dijadikan subject matter-nya. Dengan subject matter yang menggigit berdasarkan konsep yang akan disampaikan, karyanya menjadi lebih berbicara, dan karenanya, lebih menarik.

Selain melukis, Karte juga membuat pernak-pernik suvenir secara rutin. Antara lain, lukisan Loro Blonyo dan gantungan kunci. Dan yang unik, melukis sepatu. Semuanya dititipkan di toko Mirota, Malioboro. Suvenirnya cukup laris sehingga bisa mendatangkan pemasukan rutin setiap bulan. Karte juga memelihara burung kenari, yang secara periodik ia jual.

Lukisannya pun mulai dilirik kolektor dari Singapura dan Hong Kong. Sebagian lukisannya dibeli mereka. Ini tak lepas dari usaha Karte mem-posting lukisannya di internet. Melalui teknologi murah dan canggih ini ia dapat mempromosikan karya-karyanya.

Kedua anaknya agaknya juga berbakat melukis. Aslam Tabah Kurniawardaya malah memilih sekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), sekarang ia duduk di kelas dua. Sedangkan si bungsu, Khania Putri Wardaya, masih duduk di kelas 1 SMP. Karte tak berkeberatan jika anaknya menjadi pelukis. Profesi anak-anaknya diserahkan sepenuhnya kepada mereka.

Karte Wardaya, Denting, Tembi Rumah Budaya
Lukisan Karte Wardaya pada pameran tunggalnya di 
Tembi Rumah Budaya, 2014. Foto: Barata

Kini di usianya yang ke-48 Karte semakin mantap dengan jalan melukis. Ia bisa menjalani profesinya di rumah, mempunyai lebih banyak waktu bergaul dengan anak-anaknya. Bahkan ia harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah. Dan tentu saja, semua sesuai kata hatinya. Serta, yang tak kalah penting, “Melukis tidak kenal pensiun,” ujarnya dengan mantap.

Temen nan yuk ..!

Barata

Teman

Latest News

  • 27-12-14

    Menyimak Gending-gen

    RM Palen Suwanda Nuryakusuma mulai menulis dan menyusungendhing-gendhing karawitan sejak berusia 23 tahun. Gendhing karya pertamanya adalah... more »
  • 27-12-14

    Aneka Warangka Keris

    Masyarakat Jawa yang kurang kenal dekat dengan dunia keris biasanya hanya tahu bahwa sarung keris namanya warangka. Padahal sebenarnya setiap bagian... more »
  • 27-12-14

    Orang Sabtu Paing Ku

    Orang Sabtu Paing kurang perhitungan atau kelewat berani, suka pamer, sombong dan panas hati, bergaya sok kaya, kurang rendah hati, jika bertengkar... more »
  • 26-12-14

    Voice of Asmat, Perp

    Pertunjukan musik akustik dibawakan sekelompok anak muda berbakat, yaitu Putri Soesilo, Aji Setyo, Dika Chasmala, dan Alwin. Mereka memadukan rasa... more »
  • 26-12-14

    Puntadewa Masuk Nera

    Puntadewa tersentak hatinya. Ia tidak dapat membayangkan betapa sakit dan sengsara keempat adiknya. Tanpa berpikir panjang, Puntadewa bergegas... more »
  • 24-12-14

    Rumah Kebangsaan. Da

    KRT Jayadipura adalah salah satu tokoh gerakan kebangsaan. Karena itu, tidak heran apabila dalem Jayadipuran sering dipakai untuk pertemuan atau... more »
  • 24-12-14

    Cuplikan dari Festiv

    Kirab atau pawai ini merupakan awal atau pembukaan Festival Seni Budaya Klasik yang diselenggarakan oleh Pura Paku Alaman pada tanggal 17-20 Desember... more »
  • 23-12-14

    Gladhen Tembang Maca

    Pada Gladhen 22 ini tembang yang dipakai untuk belajar adalah tembang Asmarandana yang dilagukan dengan notasi Slobok. Sedangkan teks tembang,... more »
  • 23-12-14

    Pembacaan Puisi untu

    Jalan menuju Desa Kedunggubah sedikit terjal, dan terasa agak terpencil, jauh dari pusat kota. Jalann menuju desa bukan hanya berlubang, tetapi juga... more »
  • 23-12-14

    Pameran Tunggal Visu

    Bulan Desember 2014 ini Ong ditantang untuk berpameran tunggal oleh Bentara Budaya Yogyakarta, yang sempat membuat dirinya ragu-ragu, antara meng-iya... more »