Pameran Titi Mangsa di Rumah Seni Sidoarum Godean

01 Jun 2016 Sekalipun di Yogyakarta ada cukup banyak ruang pamer, namun agaknya ruang-ruang tersebut tidak atau belum mencukupi sebagai sarana pamer karya dari seniman (senirupawan) yang jumlahnya juga melimpah di kota itu. Berkaitan dengan waktu atau titi mangsa yang bertepatan bulan Ruwah yang jatuh di bulan Mei dan bulan Ramadan yang nanti jatuh di bulan Juni, ada kepercayaan bahwa kedua bulan itu penuh berkah. Oleh karena itu banyak seniman atau pelaku seni yang berlomba-lomba melakukan perhelatan seni, termasuk pameran seni rupa. Kegiatan semacam itu diharapkan memang menjadi berkah, tidak saja bagi seniman (pelaku seni), namun juga bagi masyarakat luas.

Pada bulan yang dipercaya penuh berkah ini seluruh pelaku seni dengan sumber daya kreatifnya masing-masing seakan-akan berlomba untuk menunjukkan kualitas karyanya atau sekadar unjuk gigi guna merawat eksistensinya. Begitu juga ruang-ruang seni yang ada di Yogyakarta ini. Tanpa diberi aba-aba ruang-ruang itu mengadakan kegiatan-kegiatan seni rupa atau semacam ritual ibadah seni rupa dengan berbagai macam kualitas karya dalam pameran-pameran seni rupa. Bermunculannya banyak ruang seni baru tentu saja menjadi warna baru, kekayaan baru bagi Yogyakarta. Harapannya ruang-ruang seni baru ini menampung ide atau gagasan-gagasan kreatif yang mewujud dalam karya-karya seni oleh para pelaku seni/perupa.

Fenomena di atas menjadi menarik bagi dunia seni saat ini karena di tengah kondisi seni rupa yang dapat dikatakan kurang stabil ini tetap saja ada semangat kuat yang menggelora dalam diri perupa untuk terus berkarya. Kekurangstabilan kondisi tersebut pada sisi lain justru bisa juga membuahkan karya-karya yang berkualitas baik.

Pameran seni rupa yang diberi tema Titi Mangsa di Rumah Seni Sidoarum, Godean, Sleman yang dimulai sejak 22 Mei hingga 10 Juni 2016 bisa dikatakan menjadi obat tersendiri bagi perupa yang belum mempunyai kesempatan untuk berpameran di ruang-ruang pamer yang dipandang eksklusif. Sekalipun demikian, apa yang dilakukan di ruang seni Rumah Seni Sidoarum bukanlah bermaksud mengambil jalur lain.

Titi Mangsa dapatlah dimaknai sebagai saat, atau waktu. Dalam kultur Jawa apa yang disebut titi mangsa bisa dikatakan sebagai saat. Artinya, waktu atau saat itu bukan menjadi kewenangan makhluk hidup. Kapan titi mangsa orang lahir, sukses, tenar, jatuh, atau mati tidak pernah diketahui oleh orang yang bersangkutan. Jika pun orang berusaha keras untuk meraih sesuatu namun belum juga berhasil, hal demikian sering dikatakan “belum titi mangsa-nya” atau belum saatnya. Intinya, semua ada saatnya. Semua ada waktunya.

Dengan demikian pula, pameran yang digelar di Rumah Seni Sidoarum ini tak pula lantas ikut-ikutan ngalap berkah bulan seni dengan gempitanya aneka kegiatan seni akbar pada bulan-bulan ini karena semua toh ada waktunya. Ada saatnya. Pameran yang digelar di Rumah Seni Sidoarum ini sekaligus juga sebagai bentuk rasa syukur pada ulang tahun Rumah Seni Sidoarum yang pada tanggal 23 Mei 2016 menginjak usia yang ke-2. Itulah pula mengapa pameran yang melibatkan 29 orang perupa ini diberi tema Titi Mangsa. Tanggal 23 Mei itulah titi mangsa atau saat lahirnya Rumah Seni Sidoarum yang turut mewarnai dinamika kesenian di Yogyakarta.

Naskah dan foto:a.sartono

Pohon Kehidupan, 90 cm x 70 cm, oil on canvas, 1988, karya I Wayan Cahya, difoto: 26 Mei 2016, foto: a.sartono Rasa, 50 cm x 0- cm x 40 cm, aluminium, 2014, karya Syahrizal Koto, difoto: 26 Mei 2016, foto: a.sartono Fragmen, 100 cm x 120 cm, oil on canvas, 2016, karya Watie Respati, difoto: 26 Mei 2016, foto: a.sartono Pesta di Bali, 80 cm x 70 cm, oil on canvas, 2016, karya Eni Setyaningsih, difoto 26 Mei 2016, foto: a.sartono Pejantan Tangguh, 70 cm x 90 cm, oil on canvas, 2014, karya Ledek Sukadi, difoto 26 Mei 2016, foto: a.sartono Menanam untuk Menuai, 100 cm x 100 cm, oil on canvas, 2016, karya Tini Jameen, difoto 26 Mei 2016, foto: a.sartono Bunda Teresha #2, 60 cm x 80 cm, relief paint on batik, 2016, karya Beni Rismanto, difoto 26 Mei 2016, foto: a.sartono Ngasem in Memorial, 120 cm x 120 cm, oil on canvas, 2013, karya Heri Londo, difoto 26 Mei 2016, foto: a.sartono SENI RUPA

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 01-08-16

    Macapat ke-148, Peng

    Mengikuti macapat malem Rebo Pon di Tembi Rumah Budaya ibarat mengikuti pengembaraan Mas Cebolang yang penuh dengan pengalaman kehidupan baik lahir... more »
  • 01-08-16

    Eksotisme Amphiteate

    Amphiteater merupakan salah satu spot luar ruangan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Merujuk pada aspek historisnya amphiteater... more »
  • 01-08-16

    Naura Sang Idola Cil

    Terhitung sudah dua album yang diproduksi penyanyi cilik ini, yang bernama lengkap Adyla Rafa Naura Ayu. Di usianya yang ke-8 tahun putri pertama... more »
  • 30-07-16

    Rabu Kliwon Pekan In

    Pranatamangsa: memasuki Mangsa Surya II Mangsa Karo. Usia 23 hari hari terhitung mulai 2 s/d 24 Agustus 2016. Candrane: Bantala Rengka,  artinya... more »
  • 30-07-16

    Kemah Budaya ke-10 B

    Iringan musik tradisional Jawa yang begitu rancak, bertalu-talu, dan meriah membuat para tamu undangan kemah budaya ikut manggut-manggut dan... more »
  • 30-07-16

    Dalem Kanjengan yang

    Ada beberapa bangunan penting selain kompleks makam raja-raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) di Imogiri yang keberadaannya tidak terpisahkan dari... more »
  • 29-07-16

    Bincang-bincang deng

    Yok Koeswoyo adalah salah satu personil grup musik pop Koes Plus yang legendaris di Indonesia. Di masa jayanya, Koes Plus yang beranggotakan Yok, Yon... more »
  • 29-07-16

    Ki Suparman Menurunk

    Sosok raja yang rendah hati, mencintai rakyatnya dan tidak mempunyai musuh seperti Prabu Puntadewa layak mendapat anugerah Kalimasada dari Batara... more »
  • 29-07-16

    Denmas Bekel 29 Juli

    Denmas Bekel 29 Juli 2016 more »
  • 28-07-16

    Buku Peringatan 10 T

    Judul            : “Boekoe Pengetan” (Gedenkboek) Wanito-Oetomo ing Mataram Penulis  ... more »