Kering Karena Ego

16 Jun 2015 Ini tentang hilangnya Hak Mudah. Negeri ini subur dan kita hidup di atas air. Namun, untuk mendapatkan air bersih kita harus membayar. Air yang seharusnya begitu mudah kita dapat justru diprivatisasi sehingga kadang berada di luar jangkauan orang tertentu.”

Kalimat itu terpajang pada karya buatan Bejo Wage Suu yang dipamerkan pada ARTJOG 8 yang diselenggarakan selama 6-28 Juni 2015 di Taman Budaya Yogyakarta. Karya seniman kelahiran Solo itu memberikan kesan tersendiri bagi yang melihatnya.

Karya berjudul “Pipo Bocor” ini berbahan campuran seperti kayu pinus, gypsum, semen putih, pipa, dll. Berbentuk miniatur manusia kayu membawa ember, dan instalasi pipa; ditempelkan pada sebuah papan, kemudian diletakkan pada dinding; sehingga miniatur dan pipa tersebut menjorok ke depan, dan memberikan sisi unik.

Minatur manusia dari kayu pinus ini, ia namai“Liping”. Liping merupakanplesetan  kata living yang artinya kehidupan; karena karyakreasi miniaturnyaini selalu menceritakan tentang kehidupan masyarakat. Jika diamati, Liping memperlihatkan karakter muram di wajahnya: memberi kesan kesedihan akan benda milik bersama yang dirampas oleh kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Ember-ember yang dibawa oleh banyak Liping, memberikan kesan akan penantian untuk mendapatkan haknya kembali. Instalasi pipa sengaja disambungan dengan aliran air, untuk membuat kebocoran pada pipa, memberikan kesan kesia-siaan.

Setiap detail miniatur yang dibuat oleh Bejo, mungkin mengharapkan pengunjung bisa memahami dan merasakan makna dari karya tersebut. Upayanya juga diwujudkan dalam bentuk tulisan “Help Me” (Tolong) pada sebilah kayu yang turut tersambung pada papan, yang meminta audien untuk mengangkat ke atas; setelah dilakukan, pipa tersebut mengeluarkan air dan menyemprot pengunjung. Efek kejut inilah yang mungkin ingin disampaikan pembuatnya untuk membuat kita tersadar akan penggunaan air yang sia-sia. “Karya ini ingin menyadarkan kita semua untuk tidak buang air sembarangan,” kata Tri Aji Bayu, voulenteer yang sedang menjaga karya tersebut.

Tri mengaku sangat mendukung makna dari karya tersebut, karena ia sendiri memang sudah lama sadar akan hemat air, bahkan ia juga turut serta di komunitasEarth Hour yang peduli denganglobal warming dan cinta bumi. Dalam ceritanya, karya tersebut mengundang orang untuk menyimak secara detail. Banyak pengunjung yang penasaran dan menggali maknanya, tetapi ada juga pengunjung yang datang malah lebih tertarik pada kejutan air yang didapat ketika mengangkat bilah kayu tulisan “Help Me” sebagai suatu kesenangan atau ‘mainan’.

Seorang pengunjung pameran, Budi Wibowo menceritakan kesannya pada karya tersebut. “Ada banyak orang menantiikan sesuatu, tapi apa yang dinantikan itu hanya kesia-siaan,” kata dia. Kesan Budi, sungguh sangat menampar, apa yang terjadi jika nanti kita justru mengalami kekeringan di rumah sendiri dan tidak bisa menikmati air lagi di tanah kita yang sangat luas perairannya?. Namun, Budi mengakui, bahwa ia sendiri pun belum bisa menghemat air. Semoga dengan karya yang dihantarkan Bejo ini menjadi tanda pengingat bagi kita.

Karya Bejo berbicara tentang kehidupan masyarakat yang tidak dapat hidup di atas tanahnya dengan leluasa. Semoga, penggunaan air pada karya ini pun memberikan kesadaran dan dampak positif bagi banyak orang, sehingga tidak sia-sia. Karya bejo yang inspiratif, ternyata buang-buang air juga, bejo.. bejoo..

Naskah & Foto: Marcellina Rosiana

Bejo Wage Suu, pameran pada ARTJOG 8 yang diselenggarakan selama 6-28 Juni 2015 di Taman Budaya Yogyakarta, foto: Marcellina Rosiana Bejo Wage Suu, pameran pada ARTJOG 8 yang diselenggarakan selama 6-28 Juni 2015 di Taman Budaya Yogyakarta, foto: Marcellina Rosiana Bejo Wage Suu, pameran pada ARTJOG 8 yang diselenggarakan selama 6-28 Juni 2015 di Taman Budaya Yogyakarta, foto: Marcellina Rosiana Bejo Wage Suu, pameran pada ARTJOG 8 yang diselenggarakan selama 6-28 Juni 2015 di Taman Budaya Yogyakarta, foto: Marcellina Rosiana Bejo Wage Suu, pameran pada ARTJOG 8 yang diselenggarakan selama 6-28 Juni 2015 di Taman Budaya Yogyakarta, foto: Marcellina Rosiana SENI RUPA

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 03-08-15

    Sendang Kali Ayu Dod

    Sendang Kali Ayu ini dulu dibuat atau ditemukan oleh Mbah Ronowijoyo. Kisahnya, pada suatu ketika Mbah Ronowijoyo kedhuk-kedhuk (menggali tanah) di... more »
  • 03-08-15

    Wayang Pesisiran Tam

    Ki Tri Luwih Wiwin Nusantara dari Kayen, Kota Pati, Jawa Tengah, mendapat kesempatan tampil mendalang, lengkap bersama rombongan pengrawit serta... more »
  • 01-08-15

    Hari Baik dan Hari J

    Orang yang lahir pada Selasa Kliwon, pada periode usia 0 s/d 12 tahun, adalah ‘PA’ Pandhita, baik. Usia 12 s/d 24 tahun, adalah ‘SA’ Sunan, baik.... more »
  • 01-08-15

    Tajong Samarinda Dib

    Tajong Samarinda pada mulanya dibawa oleh para pendatang Suku Bugis Wajo yang berpindah ke Samarinda karena tidak mau patuh pada perjanjian Bongaja... more »
  • 01-08-15

    UU Tata Niaga Gula d

    Di Perpustakaan Tembi tersimpan dengan baik buku lawas ini yang berisi tentang undang-undang tata niaga gula di Hindia Belanda. Peraturan ini... more »
  • 31-07-15

    Kue Cubit Kudapan Po

    Berawal dari makanan cemilan gerobak yang banyak dijual di sekolah-sekolah dasar, kue mungil berbahan dasar tepung ini semakin populer bahkan “naik... more »
  • 31-07-15

    mas Bekel

    mas Bekel more »
  • 28-07-15

    Masalah Ekologi Indo

    Buku ini berisi tentang masalah ekologi terutama di Indonesia dalam perspektif dekade 1950-an. Pertambahan jumlah penduduk mau tidak mau memang akan... more »
  • 28-07-15

    From The New World d

    Indonesian Youth Symphony Orchestra (IYSO) kembali tampil di Tembi Rumah Budaya dengan melibatkan banyak anggota Sri Aman Orchestra, Malaysia,... more »
  • 28-07-15

    Penggurit Dua Kota A

    Para penggurit dari dua kota, Yogyakarta dan Surabaya, akan tampil bersama dalam launching antologi geguritan karya masing-masing penggurit, Jumat 31... more »