Sorak Bogowonto Semangat Pantang Menyerah

26 Jul 2016 Bogowonto adalah nama sungai yang melintasi Bagelen Kabupaten Purworejo, letaknya di sebelah barat Sungai Progo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di wilayah yang berada di antara dua sungai itulah Pangeran Mangkubumi pernah singgah dan bersembunyi dari incaran pasukan Belanda. 

Di dalam persembunyiannya Pangeran Mangkubumi mendapat tambahan kekuatan dari Demang Purworejo dan penduduk sekitar yang tidak senang terhadap penjajah Belanda. Di antaranya adalah Jaka Sangkrib, Rara Winih, dan para Kentol, sebutan untuk orang-orang pembela rakyat yang pemberani, sakti dan tangguh. Mereka setia kepada pemimpin jujur, adil dan mengayomi rakyat, seperti halnya Pangeran Mangkubumi. Demi menyemangati sebuah perjuangan besar melawan penjajah, Ki Demang Purworejo merelakan pusaka warisan leluhur berupa gamelan dan tombak, kepada Pangeran Mangkubumi.

Dikarenakan dukungan itulah banyak penduduk di antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto yang ditangkap, dimasukkan dipenjara dan disiksa oleh prajurit Belanda karena dituduh menjadi pengikut Mangkubumi dan merahasiakan keberadaannya. Meski disiksa mereka tetap setia. Tidak sudi memberitahukan persembunyian Pangeran Mangkubumi. Kesetiaan para pengikutnya itulah yang menyebabkan prajurit Belanda kesulitan mencari tempat persembunyian sang pangeran.

Dengan demikian dari pihak Mangkubumi, ada kesempatan untuk menghimpun kekuatan dan melancarkan perang gerilya. Namun pada akhirnya perang terbuka pun meletus, saat tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi tercium prajurit Belanda. Demang Purworejo memerintahkan agar gamelan pusaka dibunyikan untuk menambah semangat perang pendukung Mangkubumi. Sorak sorai diteriakkan, bersautan dengan tetabuhan gamelan. Sorak Bogowonto!!!  Sedangkan Pangeran Mangkubumi yang menyamar menjadi Prawirarana membawa tombak pusaka milik Demang Purworejo dan berhasil membunuh Mayor De Clerq, pimpinan pasukan Belanda, sehingga membuat prajurit Belanda tercerai-berai.

Setelah terbunuhnya Mayor De Clerq, Tumenggung Martapura dan RM Suwandi yang semula berpihak kepada Belanda, berbalik mendukung Pangeran Mangkubumi. Belanda semakin berpikir untuk menghadapi  pengikut Mangkubumi yang semakin kuat. Maka kemudian diajaklah Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dan terjadilah Perjanjian Giyanti dan dilanjutkan dengan Perjanjian Jatisari. Mataram dibagi dua, Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Mangkubumi menjadi raja di Kasultanan Yogyakarta dan membangun keraton baru bersama pengikutnya.

Mencicipi sedikit sejarah dalam adonan humor yang kental rupanya telah menjadi trade mark naskah tulisan Drs. Susilo Nugroho yang dipentaskan oleh ketoprak ringkes Tjap Tjonthong. Seperti yang dipentaskan pada 8 dan 9 Juli 2016 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, yang diberi judul Sorak Bogowonto, adalah tulisan naskah yang ke-20.

Selama dua hari, para pemain yang terdiri dari: Anon Dugul, S.Sn. Anom Wibowo, S.Sn. Bagong Sutrisno, Bayu Saptana, Danang Rajiev, Didi Sanjaya, Hargi Sundari, Marwoto Kawer, Nano Asmorondono, Ngatirah, Novi Kalur, Rini Widyastuti, Rio Pujangkoro, Sarjono, Sudiharjo (tidak jadi pentas), Suharjono, Susilo Nugroho, Wahyu Doyok Kadipiro S.Kar, Warsana Kliwir S.Sn, M.Sn, Wisben Antoro yang disutradari   Sumarwoto dan Susilo  mampu memberi hiburan segar kepada penonton yang memenuhi tempat pertunjukan.

Rupanya baik penulis naskah maupun sutradara telah mengikat janji dengan penonton setia, bahwa pentas ketoprak ringkes tjap Tjonthong harus ‘Gerrr” dan “Lherrr” karena jika tidak akan merasa berdosalah mereka yang tergabung dalam pementasan ini. Maka tidaklah heran, jika setiap adegan selalu ada yang diharapkan dapat membuat penonton tertawa.

Memang pada kenyataannya sepanjang pentas ketoprak ringkes Tjap Tjonthong  ini berhasil membuat penonton gerr dan satu dua yang lher. Namun walaupun begitu bukan berarti bahwa pentas ini hanyalah melulu dagelan dan guyonan. Ada  semangat kepahlawanan  sosok Mangkubumi dan para pengikutnya yang dapat ditemukan serta dirasakan di sela-sela  riuhnya tawa. Bersama suara gamelan yang kemudian dinamakan Kyai Sorak, para  warga di lembah Sungai Bogowonto dan Sungai Progo telah  membahanakan sorak-sorak kepahlawan dalam peperangan mengusir penjajah. Bisa jadi adegan inilah yang menjadi misi utama untuk menggugah semangat kepahlawanan.

Kalau pun apa yang ditawarkan dalam tontonan humor ini tidak mampu menggugah jiwa kepahlawanan bagi penonton, namun paling tidak seluruh kru dan pemain Sorak Bogowonto telah menghidupi semangat pantang menyerah semenjak proses latihan hingga ke panggung pentas. Mereka bersama-sama berusaha semaksimal mungkin mewujudkan sajian yang selain menghibur juga membawa misi mulia.

Bahkan ada salah satu pemain inti, namanya Sudiharjo ‘Sronto’ yang menghidupi semangat pantang menyerah untuk mewujudkan pentas malam itu hingga saat-saat terakhir. Setengah jam sebelum pentas hari pertama, Sudiharjo yang sudah mengenakan kostum pentas terpaksa dilarikan ke rumah sakit Panti Rapih karena kesehatannya drop. Dalam kondisi yang memprihatinkan dan tidak memungkinkan Sudiharjo masih menggenggam erat tanggung jawabnya sebagai salah satu pemain yang akan membawakan misi kepahlawanan sosok Mangkubumi. Jarum infus yang menusuk di kedua tangannya tidak dirasakan. Beberapa kata mengenai pementasan terucap dari mulutnya. Menjelang fajar ia telah melepas sendiri kedua jarum infusnya dan pergi ke toilet, lalu kembali berbaring. Tepat pukul 5.50 Tuhan telah memanggilnya.

Sudiharjo tidak berkesempatan ikut pentas ketoprak Tjonthong produksi ke-23. Namun semua pelayat yang hadir di rumah duka pada 9 Juli 2016 menjadi saksi bahwa ia telah menghidupi “Sorak Bogowonto” sampai akhir hayatnya. Bak pendukung Pangeran Mangkubumi yang mati di dalam peperangan melawan Belanda, Sudiharjo pun layak disebut ‘pahlawan kesenian.’

Naskah dan foto:Herjaka HS

Pentas ketoprak Tjonthong, lakon Sorak Bogowonto, foto: Herjaka HS Pentas ketoprak Tjonthong, lakon Sorak Bogowonto, foto: Herjaka HS Pentas ketoprak Tjonthong, lakon Sorak Bogowonto, foto: Herjaka HS SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 03-08-16

    Bokor untuk Persemba

    Bokor berisi bunga setaman juga menjadi salah satu alat pelengkap yang biasanya menghiasai ruangan sentong tengah dari rumah induk masyarakat Jawa.... more »
  • 03-08-16

    Gudeg Koyor Varian d

    Jenis makanan gudeg yang telah menjadi identitas makanan khas Yogyakarta mungkin sudah tidak asing lagi banyak orang. Namun gudeg koyor mungkin masih... more »
  • 02-08-16

    Pria Sawo Matang di

    Musim panas telah tiba. Di Zug, sebuah kota kecil di tengah daratan Swiss dengan penduduk sekitar 28.600 jiwa, sejumlah kursi berwarna oranye bersama... more »
  • 02-08-16

    Ajaran Kebaikan Oran

    Judul            : Ajaran-ajaran dalam Naskah Singhalangghyala Parwa Penulis   ... more »
  • 01-08-16

    Macapat ke-148, Peng

    Mengikuti macapat malem Rebo Pon di Tembi Rumah Budaya ibarat mengikuti pengembaraan Mas Cebolang yang penuh dengan pengalaman kehidupan baik lahir... more »
  • 01-08-16

    Eksotisme Amphiteate

    Amphiteater merupakan salah satu spot luar ruangan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Merujuk pada aspek historisnya amphiteater... more »
  • 01-08-16

    Naura Sang Idola Cil

    Terhitung sudah dua album yang diproduksi penyanyi cilik ini, yang bernama lengkap Adyla Rafa Naura Ayu. Di usianya yang ke-8 tahun putri pertama... more »
  • 30-07-16

    Rabu Kliwon Pekan In

    Pranatamangsa: memasuki Mangsa Surya II Mangsa Karo. Usia 23 hari hari terhitung mulai 2 s/d 24 Agustus 2016. Candrane: Bantala Rengka,  artinya... more »
  • 30-07-16

    Kemah Budaya ke-10 B

    Iringan musik tradisional Jawa yang begitu rancak, bertalu-talu, dan meriah membuat para tamu undangan kemah budaya ikut manggut-manggut dan... more »
  • 30-07-16

    Dalem Kanjengan yang

    Ada beberapa bangunan penting selain kompleks makam raja-raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) di Imogiri yang keberadaannya tidak terpisahkan dari... more »