Nyanyian Angsa Versi Jawa oleh Komunitas Sekar Setaman

22 Apr 2016 Puisi karya WS Rendra “Nyanyian Angsa” secara menarik dipentaskan dalam bentuk pengadeganan versi teater modern oleh Komunitas Sekar Setaman di Gedung Societet Militer Taman Budaya Yogyakarta, Senin malam, 18 April 2016 . Lebih menarik lagi puisi yang sejatinya dituliskan dalam bahasa Indonesia itu dipentaskan dalam format bahasa Jawa. Lakon yang sama sudah mereka pentaskan di Gua Maria Sendangsono, Jawa Tengah, 26 Maret 2016.

Bertindak sebagai sutradara dalam pementasan ini adalah Pritt Timothy, Astrada: Yanjangkrik, Maria Zaitun oleh Pristianty Dewi, Sarce oleh Danna Chintia, Tum oleh Sarjuning Wati, Pelanggan oleh Bege Jogja, Germo oleh Megarita, Koster oleh Sambodo Wijokongko, Dokter oleh Isuur Leuweng S., Pastur oleh Yanjangkrik, Mempelai oleh Dinai Setiawan, Narator oleh Pritt Timothy, Wardrobe –make up oleh Megarita, Penata musik oleh OCM Pardiman Djoyonegoro, Sulistyo, dan Agung, penari oleh Agung Yunandi, Rasti Anggraini, Sifa Sabdu M, Hanifah MJ., dan Saskia Eka S.

Kene iki papan nggon nyambut gawe. Ora kena seneng-senengan, ora kena sir-siran, ora kena yang-yangan. Ngerti ?! Kabeh tamu kudu diladeni sing padha. Sing adil. Wis, kana ndang dha dandan. Selak awan. Tamune selak dha teka.” (Di sini tempat orang bekerja. Tidak boleh senang-menyenangi, tidak boleh taksir-menaksir, tidak boleh pacaran. Paham ?! Semua tamu harus dilayani secara sama. Yang adil. Sudah, sana lekas berdandan. Keburu siang. Tamunya sebentar lagi pada datang).

Demikian antara lain dialog adegan pembuka dari pementasan fragmen Nyanyian Angsa oleh Sekar Setaman. Dari sinilah kemudian tampil Maria Zaitun sebagai wanita pelanyahan (PSK) yang sudah menua, terkena penyakit sifilis, tidak punya uang, dan bahkan berutang pada mucikarinya. Ia ditolak di komunitasnya karena sakit, melarat, dan membebani orang lain. Ia bahkan diusir karena sudah tidak sanggup lagi membayar sewa kamar, tidak memberikan kontribusi apa-apa, dan memberikan suguhan pemandangan yang menjijikkan.

Dalam kondisi demikian Maria Zaitun berjalan ke luar kota. Ia membayangkan Malaikat Penjaga Firdaus yang mengancamnya dengan pedang api karena ia berdosa. Bahkan pastur di sebuah gereja juga menolaknya. Dokter pun hanya memberikan suntikan vitamin C padanya karena ia tidak mampu membayar. Dalam duka, sakit, dan lapar ia duduk di pinggir kali yang kemudian mengingatkannya akan masa kecil dan remaja yang ceria, indah, dan romantis. Dalam kesendirian ia merasakan kelegaan dan ketenangan hatinya.

Di pinggir kali itulah ia bertemu lelaki tampan yang lembut, romantis, dan hangat yang membuatnya kasmaran dan menginginkannya. Ia pun tidak menolak ketika lelaki itu mencium bibirnya dan membuka kutangnya, karena ia memang menginginkannya. Betapa bahagianya Maria Zaitun ketika semuanya itu selesai. Ia belum pernah merasakan percintaan seindah itu. Dalam kasmaran ia menanyakan nama lelaki itu yang kemudian dijawabnya,”Mempelai.”

Maria Zaitun akhirnya sadar, siapa sesungguhnya mempelai yang telah membebaskannya dari dosa itu. Mempelai yang telah menerima dirinya yang bergelimang dosa. Di sinilah kebahagiaan Maria Zaitun tidak bisa digambarkan lagi.

(malaikat penjaga Firdaus
Wajahnya jahat dan dengki
Dengan pedang yang menyala
Tak bisa apa-apa
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.Pelacur dan pengantin adalah saya)

Demikian teks puisi Nyanyian Angsa karya WS Rendra itu diakhiri. Demikian pengadeganan di panggung oleh Komunitas Sekar Setaman juga diakhiri dengan versi Jawanya.

Naskah dan foto:a.sartono

Maria Zaitun dimarahi oleh mucikarinya, difoto: 18 April 2016, foto: a.sartono Penderitaan Maria Zaitun, difoto: 18 April 2016, foto: a.sartono Maria Zaitun juga ditolak oleh pastur, difoto: 18 April 2016, foto: a.sartono Penggambaran percintaan Maria Zaitun dan Mempelai, difoto: 18 April 2016, foto: a.sartono Maria Zaitun kasmaran dengan Mempelai, difoto: 18 April 2016, foto: a.sartono Foto bersama pada akhir acara pementasan Nyanyian Angsa, difoto: 18 April 2016, foto: a.sartono SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 23-04-16

    Rabu Paing Tidak Bai

    Pranatamangsa masuk mangsa kasebelas atau disebut Desta. Mangsa Desta ini umurnya 23 hari, mulai 19 April s/d 11 Mei. Musim panen padi dan umbi-... more »
  • 23-04-16

    Supaya Dusun Ayem Te

    Merti dapat diartikan menjaga, memelihara, serta membersihkan sebuah wilayah dalam hal ini adalah desa ataupun dusun. Dikarenakan wilayah dusun maka... more »
  • 23-04-16

    Karangan, Makanan Kh

    Karangan adalah kuliner lokal yang mungkin hanya bisa ditemukan di Pasar Turi, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul dan Pasar Ngangkruksari, Parangtritis... more »
  • 22-04-16

    Nyanyian Angsa Versi

    Puisi karya WS Rendra “Nyanyian Angsa” secara menarik dipentaskan dalam bentuk pengadeganan versi teater modern oleh Komunitas Sekar Setaman di... more »
  • 22-04-16

    Denmas Bekel 22 Apri

    Denmas Bekel 22 April 2016 more »
  • 21-04-16

    Menyerap Kembali Sem

    Ada yang berbeda pada pendidikan di zaman RA Kartini dulu dengan zaman sekarang. Dulu, motivasi Kartini mendidik kaumnya di sekitaran tempat... more »
  • 21-04-16

    Puisi, Musik dan Dra

    Sastra Bulan Purnama, yang sering disingkat SBP edisi ke-55, yang diberi tajuk ‘Perempuan dan Puisi’ kali ini bertepatan dengan Peringatan Hari... more »
  • 20-04-16

    Perjalanan Politik S

    Judul             : Tonggak-tonggak di Perjalananku Penulis     ... more »
  • 20-04-16

    Buku Baru dari Sang

    Seribu hari wafat Kuntara Widyamartana sudah diperingati dengan misa Sabtu, 2 April 2016 lalu di rumahnya, Delanggu. Tapi sebagai seorang ahli Sastra... more »
  • 19-04-16

    Berita Pasar Besar M

    Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial juga memperhatikan perkembangan pasar, termasuk yang ada di kota Medan, Sumatera Utara. Ketika itu... more »