Tembi

Makanyuk»NASI TIWUL, SENSASI CITARASA DAERAH KERING YANG NAIK PAMOR

02 Nov 2009 09:21:00

Makan yuk ..!

NASI TIWUL, SENSASI CITARASA DAERAH KERING
YANG NAIK PAMOR

Nasi tiwul mungkin identik dengan Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, atau daerah-daerah yang relative kesulitan air terutama di musim penghujan. Pada masa lalu nasi tiwul diidentikan sebagai nasi kaum miskin. Orang makan tiwul karena dianggap tidak mampu membeli beras atau nasi. Barangkali di masa lalu hal ini ada sisi kebenarannya. Akan tetapi pada masa sekarang hal demikian tidak bisa diterapkan begitu saja. Untu saat sekarang mungkin nasi tiwul bagi masyarakat Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, dan lain-lain justru menjadi sesuatu hal yang asing. Terutama bagi generasi mudanya. Beras sudah menjadi makanan pokok sehari-hari yang dapat dengan mudah mereka peroleh. Sementara nasi tiwul justru menjadi semakin sulit diperoleh karena yang membuat atau memproduksi juga semakin sedikit.

Kini tiwul justru semakin naik gengsinya. Banyak orang memburunya karena rasanya yang khas dan tidak bisa digantikan oleh beras. Kini kita mengenal makanan yang disebut sebagai tiwul ayu di samping tiwul biasa (tradisional). Tiwul ayu berpenampilan lebih ayu dibanding tiwul tradisional. Namun rasa dari tiwul ayu tidak bisa menggantikan rasa tiwul tradisional yang justru lebih kiyel-kiyel, sementara tiwul ayu terasa lebih kering.

Belum lama Tembi sempat menikmati nasi tiwul. Tembi mendapatkan nasi tiwul pada sebuah Rumah Makan Gubug Asri yang terletak di Jl. Wonosari KM 11, sebelah barat Jembatan Sungai Opak, Dusun Tegalyoso, Kalurahan Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Yogyakarta. Sebenarnya Rumah Makan Gubug Asri memiliki 2 menu spesial, yakni nasi tiwul dan nasi lumut. Sebenarnya Tembi ingin mencicipi nasi lumut ini, namun ketika Tembi datang ke sana nasi lumutnya belum siap. Maklum, untuk membuat nasi lumut diperlukan bahan dan proses yang panjang.

Akhirnya nasi tiwullah yang dipesan Tembi. Lengkap dengan lauk-pauknya, antara lain ca kangkung, sambel bawang, kalakan ikan, plus wedang bajigur. Semula Tembi membayangkan bahwa nasi tiwul yang akan diterima Tembi adalah nasi tiwul yang berpenampilan seperti di dusun-dusun Gunung Kidul sana. Ternyata bayangan Tembi meleset. Nasi tiwul yang diterima Tembi berpenampilan cantik. Kuning keputih-putihan dan disajikan dalam piring ceper lebar. Nasi itu sendiri dicetak dengan cetakan berbentuk kembang. Nah, tampilannya kian cantik dan menarik.

Aroma kalakan ikan dan ca kangkung serta kebul-kebul nasi tiwul yang harum segera mendera selera Tembi untuk secepatnya menyikatnya. Namun Tembi mencoba ingat diri. Ini adalah soal menikmati makanan. Bukan hanya asal mengenyangkan perut dan menenangkan cacing di usus. Sabar ... pelan-pelan ... tak akan lari nasi ditikam sendok.

Sedikit kuah kalakan ikan dituangkan Tembi pada nasi tiwul bagian pinggir lantas disantap, hap!Mm, sedikit lengket di rongga mulut. Nasi tiwul berubah wujud dan sifat menjadi seperti bubur pekat. Tembi belum canggih menyantap nasi tiwul. Ternyata, kuah sayur tidak bisa langsung dituangkan begitu saja di atas nasi tiwul. Harus sedikit demi sedikit. Yap, itu kesalahan Tembi yang pertama dalam menyantap nasi tiwul.

Ketika Tembi menuang sedikit kuah ke atas nasi tiwul kemudian menyantapnya, terasa memang nikmat. Setelah beberapa suap, perut Tembi terasa kenyang. Demikianlah dampak dari nasi tiwul, terasa cepat mengenyangkan daripada nasi beras. Ca kangkung dan lauk kalakan ikan terasa cocok untuk menemani nasi tiwul. Menurut Ibu Kunarti (39) dan Bapak Didit Sofyan (40) selaku pemilik RM. Gubug Asri, nasi tiwul sebenarnya lebih cocok diberi sayur oseng daun kates atau lodeh tempe lombok ijo dan lauk empal atau babat bacem yang digoreng. Ketiga jenis asesori ini umumnya memiliki rasa yang cenderung lebih kuat sehingga rasa tawar dari nasi tiwul bisa terobati dengan rasa yang kuat ini. Apa boleh buat, Tembi terlanjur memesan ca kangkung. Ternyata terasa cocok juga. Lebih-lebih ditambah sambel bawang dan kalakan ikan. Rasanya lebih melecut lidah. Rasa cenderung manis dan asin dari asesori-asesori itu bagi Tembi menjadi padu dengan rasa cenderung tawar dari nasi tiwul. Kuah dari kalakan ikan maupun ca kangkung bisa meredam sifat cenderung kering, akas atau mawur dari nasi tiwul.

Nasi tiwul bersifat lebih tawar (anyep) dibandingkan nasi beras. Hal ini terjadi karena kandungan glukosanya lebih rendah dibanding beras. Menurut penuturan banyak orang nasi tiwul bagus digunakan untuk diit. Bagus juga untuk penderita diabetes dan penderita penyakit maag.

Suasana rumah makan yang dibuat lesehan dengan sekat dinding bambu dan dibuat seperti panggung mengingatkan kita pada gubug di tengah sawah. Suguhan tiwul dengan ubarampenya mengingatkan kita pada suasana yang benar-benar dusun. Sentuhan cara penyajian makanan ala restoran mengingatkan kita pada betapa seirusnya penggarapan nasi tiwul di rumah makan ini.

Setelah tiwul dan ubarampenya berpindah ke perut, Tembi menutupnya dengan wedang bajigur. Wedang bajigur adalah wedang yang dibuat dari ramuan santan, gula jawa, irisan kelapa muda dan potongan roti tawar. Rasanya memang lokal banget. Roti tawarnya yang kemrampul mengingatkan akan makanan Eropa (londo). Namun roti tawar yang basah kusup oleh kuah bajigur justru menjadi padu rasanya dengan ramuan gula jawa dan santan matang. Manis, gurih, dengan aroma wangi roti tawar, santan, gula jawa, dan kelapa muda.

Tembi menutup icip-icip kuliner ini dengan segelas air putih. Demikian kebiasaan Tembi untuk menetralkan rasa dan aroma di dalam rongga mulut dan hidung. Rasa penasaran menyantap nasi tiwul terlunaskan sudah. Ternyata nasi tiwul memiliki kenikmatan dan kemanfaatan sendiri yang tidak dimiliki nasi dari beras. Buktikan sendiri.

a sartono




Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta