Menonton “Kampung Kauman” dan “Malioboro” di Benteng Vredeburg

03 Sep 2015

Film “Kampung Kauman” mengisahkan tentang asal-usul Kampung Kauman yang berada di sebelah barat laut Alun-Alun Utara Keraton Kasultanan Yogyakarta. Kampung ini dihadirkan oleh Keraton Yogyakarta untuk meramaikan Masjid Gedhe Kauman, yang menjadi salah satu simbol Keraton Yogyakarta yang bercorak Islam.

Dua film dokumenter “Kampung Kauman” dan “Malioboro” menjadi favorit pengunjung pada acara nonton bareng fim dokumenter sejarah dan budaya Yogyakarta yang diprakarsai oleh komunitas “Yogyakarta Night at The Museum”. Acara nonton bareng itu digelar di Ruang Pengenalan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta pada Jumat hingga Minggu, 28-30 Agustus 2015.

Semula dua film itu hanya diputar mulai pukul 09.00 hingga pukul 13.00 setiap hari. Namun, karena pengunjung yang pengin menonton dua film itu banyak, sementara kapasitas ruang pemutaran film terbatas, maka waktu pemutaran film diperpanjang hingga sore hari menjelang museum tutup.

Film “Kampung Kauman” mengisahkan tentang asal-usul Kampung Kauman yang berada di sebelah barat laut Alun-Alun Utara Keraton Kasultanan Yogyakarta. Kampung ini dihadirkan oleh Keraton Yogyakarta untuk meramaikan Masjid Gedhe Kauman, yang menjadi salah satu simbol Keraton Yogyakarta yang bercorak Islam. Film itu mengisahkan pula kehidupan masyarakatnya dari dulu hingga sekarang, termasuk para abdi dalem kaum, yang kemudian menjadi nama kampung itu.

Sementara Malioboro yang berada di sebelah utara Keraton Yogyakarta, yang sekarang menjadi nama Jalan Malioboro dan kawasan sekitarnya, asal-usulnya diawali dengan pengungkapan salah satu versi nama Malioboro. Nama itu berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Malyabhara. Malya artinya rangkaian bunga berbentuk lingkaran, atau karangan bunga. Konon di masa lalu, setiap tamu agung yang hendak ke Keraton Yogyakarta, disambut dengan kalungan bunga atau sepanjang jalan ditaburi bunga, seperti kisah-kisah dalam kerajaan di India. Bhara sendiri berarti penting. Mungkinkah yang dimaksud tamu penting. Bisa jadi. Itulah akhirnya jalan atau tempat menuju Keraton Yogyakarta itu sekarang disebut Malioboro, menurut salah satu versi.

Juga diungkap pula Kampung Ketandan yang masih berada di kawasan Malioboro. Menurut kisahnya nama Ketandan berasal dari Ketanda. Ketanda adalah petugas pajak yang tugasnya menarik pajak dari rakyat kala itu kemudian pajak itu diserahkan kepada Keraton Yogyakarta. Kisah lain dari film dokumenter “Malioboro” adalah sejarah singkat Gedung Agung (Istana Kepresidenan), Pasar Beringharjo, dan Benteng Vredeburg Yogyakarta.

Nonton bareng fim dokumenter sejarah dan budaya Yogyakarta ini diprakarsai oleh komunitas “Yogyakarta Night at The Museum” dengan tujuan agar pengunjung bisa lebih tahu tentang sejarah budaya Yogyakarta melalui film. Sebab selama ini belum banyak pengunjung dan warga Yogyakarta yang mengenal secara detail sejarah budaya kotanya sendiri.

“Terus terang aku baru tahu secara detail sejarah Kampung Kauman dan Malioboro dari film ini,” ungkap Hada, alumni UGM, usai menonton kedua fim tersebut. Lanjut dia, “Harapanku, mudah-mudahan film-film dokumenter lain tentang sejarah budaya Yogyakarta lebih banyak diproduksi, sehingga lebih banyak masyarakat Yogyakarta dan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta bisa mengenal lebih lengkap tentang Yogyakarta.”

Pada acara nonton bareng ini, komunitas bekerja sama dengan Seksi Film Dinas Kebudayaan DIY dan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Film-film dokumenter yang diputar berasal dari produksi Seksi Film Dinas Kebudayaan DIY buatan tahun 2014 dan tahun-tahun sebelumnya.

Selama pemutaran film dokumenter sejarah budaya Yogyakarta tersebut antusiasme pengunjung sangat bagus. Rata-rata sehari ada sekitar 150-200 penonton. Mereka melihat film dokumenter ini secara gratis, hanya menunjukkan tiket masuk Museum Benteng Vredeburg dan menulis buku tamu.

Naskah dan foto: Suwandi

Nonton Bareng Film Dokumenter Sejarah Budaya Yogyakarta di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Sabtu 29 Agustus 2015, sumber foto: Suwandi/Tembi Nonton Bareng Film Dokumenter Sejarah Budaya Yogyakarta di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Sabtu 29 Agustus 2015, sumber foto: Suwandi/Tembi Nonton Bareng Film Dokumenter Sejarah Budaya Yogyakarta di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Sabtu 29 Agustus 2015, sumber foto: Suwandi/Tembi Nonton Bareng Film Dokumenter Sejarah Budaya Yogyakarta di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Sabtu 29 Agustus 2015, sumber foto: Suwandi/Tembi FILM

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 09-09-15

    STAT Kembali Pentas

    Sanggar Tari Anak Tembi (STAT) kembali ikut memeriahkan perhelatan kesenian di Yogya. Kali ini STAT tampil di panggung Festival Kesenian Yogyakarta (... more »
  • 09-09-15

    Geguritan Tak Berhen

    Beberapa penyair sekaligus penggurit tampil membacakan geguritan karya Bambang Nugroho. Selain itu ada aktor teater Gandrik, Jujuk Prabowo ikut... more »
  • 09-09-15

    Indonesian Voice, Pe

    Fortunata Tyasrinestu menyatakan bahwa sekolah adalah Indonesia mini dimana perbedaan di dalamnya adalah keniscayaan yang patut disyukuri. Paduan... more »
  • 08-09-15

    Pameran Foto Nusa Ba

    Berkabar melalui foto, itulah barangkali yang dilakukan para jurnalis foto kelompok Pewarta Foto Indonesia (PFI), dalam pameran foto bertajuk Nusa... more »
  • 08-09-15

    Upaya Menjaga Ingata

    Kini sudah 19 tahun kematian Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin, wartawan harian Bernas Yogyakarta, yang tewas dibunuh pada tahun 1996, namun proses... more »
  • 07-09-15

    Rekaman Kala Pelaut

    Dari pameran bertema “Black Armada Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945—1949”, bertempat di Benteng Vredeburg Yogyakarta, itu dapat... more »
  • 07-09-15

    Mengusahakan Tentera

    Dalam arti luas merti dusun dimaknai sebagai upacara syukur atas berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman yang telah dan akan selalu... more »
  • 05-09-15

    Aming Aminoedhin Pen

    Di Surabaya, Aming dikenal sebagai penyair, yang menulis puisi dalam dua bahasa, Indonesia dan Jawa. Jadi, selain dikenal sebagai penyair, Aming juga... more »
  • 05-09-15

    Hari Baik dan Hari B

    Orang yang lahir pada Rabu Legi, usia 0 s/d 12 tahun, adalah ‘PA’ Pandhita, baik. Usia 12 s/d 24 tahun, adalah ‘HA’ Hajar, tidak baik. Usia 24 s/d 36... more »
  • 05-09-15

    Buku Ramayana Terbit

    Buku berbahasa Jawa terbitan Bale Poestaka tahun 1937 ini, yang menjadi koleksi Perpustakaan Tembi, berisi tentang kisah Ramayana, yang cukup lengkap... more »