Ki Geter Pramuji Mengakhiri Konflik Semar dan Guru

Author:editorTembi / Date:25-03-2015 / Adalah Ki Geter Pramuji Widodo, putra dalang Ki Sudarsana dari Sorobayan Sanden Bantul, yang menggelar pentas wayang di daerah ‘subur penonton’ itu. Selama tujuh jam penuh, di depan para dalang, tamu undangan dan penonton lainnya, Ki Geter berusaha menyuguhkan kemampuan mengolah pakeliran secara maksimal dengan cerita “Semar Guru.”

Pentas wayang kulit purwa di balai Desa Trimulyo Jetis Bantul Yogyakarta pada 22 Februari 2015, oleh Ki Geter Pramuji Widodo, Foto: Dimas
Ki Geter Pramuji Widodo menyuguhkan lakon “Semar Guru”

Pentas wayang kulit purwa di balai Desa Trimulyo Jetis Bantul Yogyakarta yang digelar pada 22 Februari 2015 cukup dipadati penonton. Masyarakat di sini doyan tontonan, kata salah satu penonton. Tontonan apa pun yang digelar di sini (Balai Desa Trimulyo) tidak pernah sepi penonton. Apalagi malam ini dalangnya bagus, suaranya apik, sabetannya lumayan, diiringi pengrawit muda-muda dan terampil dan juga pesinden-pesinden muda berbakat.

Adalah Ki Geter Pramuji Widodo, putra dalang Ki Sudarsana dari Sorobayan Sanden Bantul, yang menggelar pentas wayang di daerah ‘subur penonton’ mulai dari pukul 21.00 sampai dengan pukul 04.00. Selama tujuh jam penuh, di depan para dalang, tamu undangan dan penonton lainnya, Ki Geter berusaha menyuguhkan kemampuan mengolah pakeliran secara maksimal dengan cerita “Semar Guru.”

Pentas wayang kulit purwa di balai Desa Trimulyo Jetis Bantul Yogyakarta pada 22 Februari 2015, oleh Ki Geter Pramuji Widodo, Foto: Dimas
Karawitan Warga Laras menambah semarak pergelaran wayang kulit malam itu

Pentas ini merupakan salah satu wujud keistimewaan Yogyakarta dalam hal budaya, yang diselenggarakan atas kerja sama antara Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Provinsi DIY, Pepadi Komda Bantul, dan Desa Trimulyo Bantul.

Dari ekspresi wajah para penonton yang sebagian besar belum pernah melihat Ki Geter Pramuji ‘mayang’ nampaklah bahwa mereka merasa tertarik dan terhibur. Bahkan ada beberapa penonton yang mendekat dan naik ke pendopo untuk duduk di dekat instrumen bonang.

Sosok Ki Geter Pramuji memang membuat penasaran penonton yang belum mengenalnya. Cucu dalang kondang Ki Kriyasna itu, setelah mengenyam pendidikkan formal di SMKI dan sempat meneruskan di ISI Yogyakarta jurusan karawitan, ia berproses mengembangkan kemampuannya bersama group musik Campursari Gunungkidul (CSGK) pimpinan Manthaous hingga mencapai puncak kejayaannya sekitar tahun 1997-2000. Sepeninggal ‘empu’ campursari tersebut, Ki Geter aktif bergabung dengan kelompok karawitan Warga Laras pimpinan Ki Seno Nugroho, sebagai penggender.

Kemampuan Ki Geter sebagai pengrawit tidak perlu diragukan. Ia menguasai semua instrumen gamelan mulai dari balungan (demung, saron, peking) hingga gender. Kegiatannya di bidang karawitan cukup padat, terutama bersama Warga Laras yang adalah pengiring tetap dalang terlaris di Yogya, Ki Seno Nugroho. Walaupun sebagian besar proses kreativitasnya difokuskan sebagai pengrawit, ‘darah dalang’ yang ada pada dirinya tumbuh beriringan.

Pentas wayang kulit purwa di balai Desa Trimulyo Jetis Bantul Yogyakarta pada 22 Februari 2015, oleh Ki Geter Pramuji Widodo, Foto: Dimas
Prastiwi Rahayu (kanan) bersama pesinden muda berbakat lainnya

Sebagai penggender yang letaknya persis di belakang dalang (Ki Seno Nugroho khususnya dan juga dalang-dalang yang lain) tentunya menjadi kesempatan yang strategis untuk melihat, mendengar, mencatat dan belajar bagaimana seorang dalang menjalankan tugasnya. Maka sudah sepantasnya jika kemudian selain kemampuannya sebagai pengrawit, berkembang pula kemampuannya sebagai dalang. Ia sudah berkali-kali mendapat kesempatan mendalang di berbagai tempat khususnya di Yogyakarta, Bantul dan sekitarnya.

Pentas malam itu yang didukung oleh rekan sekerjanya karawitan Warga Laras dan pesinden senior Prastiwi Rahayu dan Tatin Lestari Handayani S Sn serta pesinden muda berbakat adalah bukti bahwa Ki Geter Pramuji Widodo dapat mendalang dengan baik.

Cerita Semar Guru mengisahkan konflik antara saudara (kakak dan adik) yang kemudian berkembang menjadi konflik kepentingan yang berhubungan dengan jabatan. Semar tidak nglegewa atau menyangka, bahwa tugasnya sebagai ‘pamomong’ ksatria yang telah ia jalankan dengan komitmen penuh dan dedikasi tinggi dianggap salah oleh Batara Guru, adiknya yang adalah penguasa tertinggi para dewa di kahyangan Jonggring Saloka. Semar dituduh menghasut manusia di dunia agar tidak menyembah dirinya (Batara Guru). Jika proses penghasutan itu dibiarkan, pelan namun pasti, kewibawaan kahyangan Jonggring Saloka akan runtuh. Oleh karenanya Semar dianggap sebagai klilip dan harus dibunuh.

Atas tuduhan serta ancaman yang ditujukan pada dirinya, Semar pun tidak undur sejengkal. Bahkan dengan ketus ia menangkis tuduhan Guru. Bahwa manusia hanya diperkenankan menyembah Gusti Allah saja. Tidak yang lain, juga tidak menyembah Batara Guru. Manusia yang tidak menyembah Gusti Allah adalah manusia yang hidupnya mengutamakan dan menghamba ‘drajat, pangkat, semat’ kedudukan jabatan, kekuasaan kewibawaan dan harta kekayaan. Siapa pun yang menghalangi kepentingannya akan tiga hal tersebut, akan disingkirkan.

Pentas wayang kulit purwa di balai Desa Trimulyo Jetis Bantul Yogyakarta pada 22 Februari 2015, oleh Ki Geter Pramuji Widodo, Foto: Dimas
Pengurus Pepadi DIY Ki Edi Suwondo (kiri), Ki Udreka, 
dan perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY 
menyimak penampilan Ki Geter Pramuji

Pada menjelang fajar, Ki Geter Pramuji Widodo telah mengakhiri perseteruan antara Semar dan Batara Guru di jagad pakeliran. Batara Guru minta maaf dan mengakui kesalahannya, dengan ditandai dengan tancep kayon. Namun tidak demikian halnya dengan yang terjadi di luar jagad pakeliran. Konflik kepentingan yang berhubungan dengan kedudukan, kekuasaan dan kekayaan belum berakhir. Bahkan bisa jadi tokoh Semar yang menyerukan serta mengajak manusia untuk menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa akan tersingkir dan bahkan terbunuh.

Herjaka HS 
Foto: Dimas

Berita budaya

Latest News

  • 26-03-15

    Denmas Bekel 26 Mare

    more »
  • 26-03-15

    Untuk Pertama Kali K

    Kirab budaya ini dimaksudkan agar kirab Ogoh-ogoh juga dapat dinikmati masyarakat luas dan bahkan memberikan manfaat sosial ekonomi masyarakat, juga... more »
  • 25-03-15

    Pada Hari Baik Jumat

    Jumat Kliwon, 27 Maret 2015, kalender Jawa tanggal 6, bulan Jumadilakir, tahun 1948 Ehe. Tergolong hari baik untuk berbagai macam keperluan. Jika... more »
  • 25-03-15

    Ki Geter Pramuji Men

    Adalah Ki Geter Pramuji Widodo, putra dalang Ki Sudarsana dari Sorobayan Sanden Bantul, yang menggelar pentas wayang di daerah ‘subur penonton’ itu.... more »
  • 25-03-15

    Kamus Bahasa Jawa Ko

    Boleh dikata, ini kamus bahasa Jawa terlengkap karya anak bangsa, W.J.S. Poerwadarminta, yang dibantu oleh C.S. Hardjasoedarma, J.Chr. Poedjasoedira... more »
  • 24-03-15

    Rombongan PT Commonw

    Karyawan PT Commonwealth Life Jakarta yang mengikuti paket wisata budaya di Tembi Rumah Budaya, Sabtu 14 Maret 2015 siang hingga menjelang maghrib.... more »
  • 24-03-15

    Wajan Juga Sudah Lam

    Wajan tradisional yang sering ada di dapur tradisional masyarakat Jawa biasanya dibedakan menjadi dua, yakni wajan yang terbuat dari besi baja dan... more »
  • 24-03-15

    Mereka Tetap Setia B

    Seperti lagu yang mereka bawakan yang beraneka jenis aliran, personil kelompok ini pun campur sari yakni keturunan Tionghoa, Manado, Sunda dan Ambon... more »
  • 23-03-15

    Begini Caranya Memba

    Kompleks Candi Prambanan kembali mengalami kerusakan berat akibat gempa bumi bulan Mei 2006. Kerusakannya cukup bervariasi namun secara keseluruhan... more »
  • 23-03-15

    Aneka Corong Bernyan

    Pameran tersebut tidak saja memamerkan koleksi benda kuno, namun benda-benda kuno tersebut juga mendapat sentuhan lain dari para perupa. Tidak aneh... more »