Ketika Yaksa Agus ber-‘Art Joke’

Author:editorTembi / Date:08-07-2014 / Yaksa mengibaratkan pamerannya seperti orang berjualan bakso pada saat ada keramaian pertunjukan wayang. “Kalau orang Jawa bilang, ‘nunut kamulyan’ (menumpang kemuliaan),” kata Yaksa.

Pameran Seni Rupa, Art Joke: Menunggu Godot, Yaksa Agus, Juni 2014, Tirana Art Space, Yogyakarta, foto: Barata
‘Presiden Palsu’, 62x53 cm, Acrylic on canvas, 2014

Sudah dua tahun ini, pada saat pameran seni rupa ‘Art Jog’ ada pula pameran seni rupa ‘Art Joke’. Yang pertama adalah sebuah perhelatan besar tahunan sejak tahun 2008. Dulu bernama Jogja Art Fair, bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta, lalu memisahkan diri menjadi Art Jog. Yang kedua adalah pameran tunggal Yaksa Agus di Tirana Art Space.

Namun ‘Art Joke’ bukan dimaksudkan sebagai tandingan ‘Art Jog’, bukan seperti pameran Binal yang menandingi pameran Bieannale II Yogya pada tahun 1992. ‘Art Joke’ justru berjalan seiring. Yaksa mengibaratkan pamerannya seperti orang berjualan bakso pada saat ada keramaian pertunjukan wayang. “Kalau orang Jawa bilang, ‘nunut kamulyan’ (menumpang kemuliaan),” kata Yaksa dengan enteng.

Pada pamerannya kali ini, yang berakhir pada 30 Juni lalu, Yaksa menambahkan subtema: ‘Menunggu Godot’. Toh dalam dimensi yang lain, ada benang merah antara pameran Yaksa ini dengan ‘Art Jog’, atau setidaknya dunia seni rupa di Yogya. Karena sejumlah perupa terkenal maupun fenomena seni rupa menjadi fokus perbincangan Yaksa lewat lukisan-lukisannya.

Menyaksikan pameran ini memang agak berbeda dengan menyaksikan pameran seni rupa lainnya. Agar bisa lebih memahami karya yang dipamerkan perlu referensi seni rupa tentang para perupa kondang, khususnya di Yogya. Jika mengetahui bagaimana gaya, ikon atau kekhasan karya dari perupa seperti Eko Nugroho, Edi Hara, Heri Dono, Nasirun, Dian Anggraeni, Ugo Untoro, Samuel Indratma, Bunga Jeruk, Bambang Toko, dan yang lainnya, barulah kita bisa masuk ke dalam karya-karya Yaksa yang beraroma parodi ini. Sebagian karyanya memang meminjam karya-karya iconic seni rupa Indonesia.

Pameran Seni Rupa, Art Joke: Menunggu Godot, Yaksa Agus, Juni 2014, Tirana Art Space, Yogyakarta, foto: Barata
‘Sementara Bercermin’, 62x53 cm, Acrylic on canvas, 2014

Peminjaman ini bukan karena masalah teknis melukis tapi lebih pada penyampaian pesan. Kita tahu misalnya lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh (1857), yang menyalin dengan perubahan lukisan Nicolas Pieneman untuk meng-counter perspektif Pieneman. Tahun 2001, Rudi Winarso membuat parodi dengan memasukkan Raden Saleh dan Pieneman ke dalam lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro untuk menegaskan peran perlawanan Raden Saleh lewat lukisan. Tahun 2007, Heri Dono meminjam lukisan Raden Saleh dan Pieneman tersebut, mengganti tokoh-tokohnya, sebagai kritik terhadap Soeharto. Ada Soeharto, Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono, Antasari Azhar, Pangeran Diponegoro dan dirinya di kedua lukisannya tersebut.

Apa yang dilakukan Yaksa Agus lebih merupakan refleksi hasil pengamatannya pada dunia seni rupa. Karenanya yang diangkat adalah sejumlah tokoh seni rupa. Kecuali lukisan ‘Mencari Presiden Palsu’ yang menggambarkan Rhoma Irama berjas dan berdasi mengepalkan tangannya. Riasan ala wayang dipoleskan di wajahnya. Judul ini dipinjam dari karya lama Heri Dono. Lukisan Yaksa ini dibuatnya pada awal wacana Rhoma sebagai calon presiden. Menurut Yaksa, seorang seniman harus tetap menjadi punakawan yang mengritik dan bekerja dengan karyanya, bukan berpolitik praktis. Ia melihat kenaifan Rhoma karena wacana pencapresan raja dangdut ini hanya sekadar alat politik partai untuk mendongkrak suara pemilih.

Polemik kolaborasi Nasirun pada tahun lalu diangkat Yaksa dalam lukisan ‘Sementara Bercermin’. Yaksa, yang pada saat polemik membela Nasirun, melukiskan Petruk sedang bercermin. Rambutnya terurai panjang seperti rambut pelukis papan atas yang rendah hati ini. Lukisan ini, menurut Yaksa, meminjam dari lukisan Nasirun. Bedanya, pada lukisan Nasirun, cerminnya kosong, sedangkan pada lukisan Yaksa, cerminnya memantulkan bayangan. Melalui keriuhan polemik itu, Nasirun dapat melihat dirinya sendiri.

Pameran Seni Rupa, Art Joke: Menunggu Godot, Yaksa Agus, Juni 2014, Tirana Art Space, Yogyakarta, foto: Barata
Enam karya dengan tema ‘Urban in Room’ dalam 
ukuran 30x30 cm, acrylic on canvas, 2014

Fenomena seni rupa lainnya yang disoroti Yaksa adalah ‘naik kelas’nya urban street art. Dalam seri Urban in Room, antara lain ia menampilkan ikon karya Samuel Indratma, Eko Nugroho dan perupa street art lainnya. Menurut Yaksa, street art kini sudah masuk dalam ruang eksklusif (baca: galeri). Demikian pula karya-karyanya setelah dibeli akan berlabuh di ruang eksklusif. Seni dan perupa pada umumnya memang eksklusif, tambahnya.

Terhadap beberapa seniman seni rupa yang dikenalnya, lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini membuat tafsiran baru berdasarkan ikon-ikon karya mereka. Misalnya, ikon Batman duduk di kloset karya Nyoman Masriadi diplesetkan menjadi Batman yang duduk di celengan gajah. Karya berjudul ‘Waktunya Memecah Celengan’ ini memberi tafsir lain tentang Masriadi, perupa yang karya-karyanya pernah terjual dengan harga miliaran ini. Bagi Yaksa, Masriadi lebih senang jika dirinya dipandang sebagai pelukis terbaik ketimbang pelukis terkenal. Celengan yang perlu dipecah, menurut Yaksa, adalah celengan ide dan skill terbaik Masriadi.

Sedangkan beberapa perupa lain tak luput dari kritiknya. Karya lama Agus Suwage yang menggambarkan Suwage sedang berteriak atas praktek “democrazy” dipinjam Yaksa dengan simbol hati terbakarnya. Karya Yaksa berjudul ‘Mari Mencapai Kebahagiaan’ ini merupakan kritik terhadap karya Suwage ‘Tembok Toleransi’ dalam Biennale Yogya tahun 2013. Sikap Suwage dinilainya tidak demokratis, bertentangan dengan teriakannya pada karyanya terdahulu. Karya Suwage di Biennale ini mengritik kepungan suara azan yang dianggapnya menyentak dan memekakkan telinga. Dalam karya ‘Sementara Menunggu Godot’, Yaksa juga mengritik sikap Nindityo Adipurnomo yang pernah mengritik suara azan dalam karyanya. Wajah salah seorang figurnya tertutup konde. Konde adalah ikon karya Nindityo.

Pameran Seni Rupa, Art Joke: Menunggu Godot, Yaksa Agus, Juni 2014, Tirana Art Space, Yogyakarta, foto: Barata
Dua karya Yaksa, 62x53 cm, acrylic on canvas, 2014, 
‘Menunggu Godot #1’ dan ‘Sambil Menunggu Godot’

Bagi Yaksa, di Yogya azan memiliki fungsi sosial, yakni sebagai penanda waktu yang menjadi acuan aktivitas. Setelah azan jam 3 pagi, pedagang pasar induk menggelar dagangan dan melakukan transaksi sampai subuh. Setelah azan subuh, pedagang bertebaran ke pasar masing-masing. Setelah azan lohor, para pekerja beristirahat dan makan siang. Setelah azan ashar, para pekerja siap-siap pulang, dan sebelum azan maghrib sudah harus tiba di rumah. Sedangkan azan isya juga menandakan dimulainya jam belajar masyarakat.

Namun sebenarnya, pada Biennale 2013, ada karya Suwage berjudul ‘Social Mirrors #3’ yang berupa sosok muadzin dan terompet raksasa yang melantunkan suara azan indah melalui sistem audio mobil. Jadi ada opsi dari Suwage menyangkut kualitas suara azan. Di sisi lain, pengeras suara masjid memang tidak sekadar persoalan agama, tapi juga persoalan masyarakat seperti penyampaian berita lelayu (kematian), dan sebagainya.

Lantas apa makna tajuk ‘Menunggu Godot’, yang diambil dari judul drama absurd Samuel Becket ini? Istilah ini sering dipakai untuk menggambarkan penantian yang tak kunjung usai. Yaksa melihat bahwa pasca booming seni rupa, banyak seniman yang menyikapinya sebagai situasi paceklik atau tidak panen. “Banyak seniman seperti menunggu Godot,” katanya. “Godot ibarat rejeki dan popularitas padahal keduanya seperti dua sisi mata uang.”

Pameran ‘Art Joke: Menunggu Godot’ bisalah dibilang sebagai ekspresi atmosfir demokrasi dalam dunia seni rupa. Melalui karyanya, perupa mengangkat dan memperbincangkan diri mereka dan dunia seni rupa. Dan lukisan-lukisan Yaksa menyikapinya secara kritis dan serius tapi santai dengan gaya pasemon.

Naskah dan foto: Barata

Berita budaya

Latest News

  • 12-07-14

    Gapura Cendanasari B

    Gapura Cendanasari sejak dipindahkan dari tempat semula memang sudah dalam kondisi tidak utuh lagi. Bagian kemuncaknya telah hilang. Sementara bagian... more »
  • 12-07-14

    Kiai Pramugari, Kuda

    Kuda inilah yang menjadi kekuatan Abimanyu dalam mencerai-beraikan pasukan Hastina. Adipati Karna, salah satu senopati perang Hastina, lantas ia... more »
  • 12-07-14

    Hari Nahas Orang Wuk

    Orang Wuku Tambir mempunyai ciri wibawa besar, kuat dalam pendirian/kemauan, dan hemat. Namu, karena saking hematnya ia cenderung kikir. Orang wuku... more »
  • 11-07-14

    Nuansa Zaman Revolus

    Banyak pengunjung yang tertarik dengan rekaan suasana perang revolusi 45 yang disajikan di halaman depan guest house Museum Benteng itu. Apalagi di... more »
  • 11-07-14

    Hedi Yunus Bernyanyi

    Bulan ramadhan tahun ini, Hedi Yunus yang pernah meluncurkan album religi, menggandeng musisi wanita Melly Goeslaw membuat konser kecil bertajuk ‘... more »
  • 11-07-14

    Imbauan dalam Bahasa

    Mestinya spanduk ini jika dituliskan dalam bahasa Jawa yang benar adalah sebagai berikut: Aja seneng gawe gendra. Spanduk di selatan parkiran Abu... more »
  • 11-07-14

    Kegiatan ACICIS Kedu

    Anak-anak remaja ACICIS ini begitu menikmati berontel ria menyusuri areal persawahan, tegalan, dan dusun-dusun di seputaran Timbulharjo, Sewon,... more »
  • 10-07-14

    Pasinaon Basa Jawa K

    Pancen menawi dipun tandhingaken kaliyan jaman rumiyin, undha-usuk basa Jawi samenika langkung ringkes. Dene ing jaman rumiyin undha-usuk basa Jawi... more »
  • 10-07-14

    Obituari Moortri Pur

    Moorti yang semasa hidupnya tinggal di Dusun Jotawang, Kalurahan Bangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, memang tak bisa lepas dari teater. Bahkan... more »
  • 10-07-14

    Carane Sinau ya Kudu

    Pepatah ini mengajarkan bahwa untuk dapat melaksanakan tindakan belajar, orang pun harus mempelajarinya. Dengan kata lain orang harus mengerti sistem... more »