Lukisan Kaca dari Empat Perupa “Penjinak Kaca”

Author:editorTembi / Date:26-07-2014 / Pameran seni lukis kaca ini, yang berlangsung dari 11 Juli sampai 11 Agustus, baru pertama kali diselenggarakan di ruang pamer Tembi Rumah Budaya. Lukisan kaca empat perupa ini bisa dikatakan sudah ‘melewati’ tradisi dan karyanya memasuki area kontemporer.

Mobil Pengantin karya Rina Kurniyati, yang mengambil model mobil Dodge koleksi Tembi Rumah Budaya dipamerkan di ruang pamer Tembi Rumah Budaya, foto: Ons Untoro
Mobil Penganten, karya Rina Kurniyati

Sebuah mobil Dodge produksi tahun 1950-an yang dulu dipakai oleh Presiden I Republik Indonesia, Soekarno, sudah lama menjadi koleksi  Tembi Rumah Budaya. Rina Kurniyati pun tertarik pada mobil itu untuk dipindahkan ke dalam bentuk lukisan kaca yang diberi judul ‘Mobil Penganten’. Meski hanya digambar bagian depannya, tetapi visualnya sangat mirip, sehingga menyerupai foto.

Perupa lainnya, Hadi Koco dari Surabaya menyajikan visual Bung Karno, dan hasilnya persis seperti foto. Maka, keduanya, Bung Karno dan mobil Dodge, oleh perupa yang berbeda dipajang di ruang pamer  Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta pada 11 Juli-11Agustus 2014.

Selain dua perupa kaca tersebut, dua perupa lainnya yakni Nugroho dari Magelang dan I Ketut Santosa dari Bali menggenapi, sehingga 4 perupa kaca pameran bersama di  Tembi Rumah Budaya dengan tajuk ‘Penjinak Kaca’.

Pameran seni lukis kaca ini baru pertama kali diselenggarakan di ruang pamer  Tembi Rumah Budaya. Lukisan kaca empat perupa ini bisa dikatakan sudah ‘melewati’ tradisi dan karyanya memasuki area kontemporer.

Mike Susanto, kurator pameran menjelaskan, bahwa dalam perkembangan seni rupa, lukisan kaca telah dikenal sejak lama. Lukis kaca telah berkembang lebih dulu dari lukisan modern berupa cat minyak, dan –meski agak lambat—mencapai perkembangan pesat antara tahun 1910-1960.

“Lukisan kaca dikembangkan oleh para seniman di segala penjuru dunia, dan kini telah membentuk gaya dan tradisi masing-masing. Lukisan kaca yang menjadi tradisi tersebut, akhirnya menjadi penanda sebuah kawasan,” kata Mike Susanto.

Potret Presiden Sukarno, karya Hadi Koco dipamerkan di ruang pamer Tembi Rumah Budaya, foto: Ons Untoro
Potret Presiden Soekarno, karya Hadi Koco

Empat perupa kaca ini memang mempunyai gaya yang berlainan. Rina Kurniyati misalnya, melewati jalur superealis, sehingga karya-karya yang ditampilkan terkesan memberi tekanan sekaligus imajinasi. Pilihan visualnya berupa kendaraan bermotor roda empat dan lebih khusus lagi mobil-mobil tua. Rina, melalui karyanya bukan hendak mengoleksi mobil, melainkan menunjukkan nasionalisme bangsa melalui simbol-simbol benda.

Dalam kata lain, Rina tidak mengajak publik yang menikmati karyanya memasuki wilayah konsumsi, tetapi mengajak untuk menengok sejarah sekaligus mengajak membayangkan perkembangan bangsanya yang tak bisa lepas dari modernitas negara lain.

Hadi Koco lebih menyajikan figur. Menapaki jalur realis, Hadi seperti hendak menghadirkan figur sesungguhnya, sehingga ketika melihat karyanya yang diberi judul ‘Potret Presiden Sukarno” yang mengenakan jas warna merah serta peci warna hitam, kita seperti melihat foto Bung Karno yang banyak dijual di kaki lima.

Atau ‘Potret Nelson Mandela’ mengenakan jas warna hitam, tetapi kepalanya mengenakan blangkon. Ada kontradiksi: blangkon dan jas. Melaui karyanya ini Hadi Koco melihat ada persoalan yang belum terselesaikan antara kultur lokal dengan kultur diluarnya.

Nugroho lain lagi dalam ‘menjinakan kaca’. Melalui karyanya yang eksperimentatif dengan pilihan figur dari orang kebanyakan, sepertinya Nugroho sudah memilih lokasi: bahwa di tengah semangat dan kegigihan rakyat kehidupan akan bisa dilalui. Melalui lukisan karyanya yang berjudul ‘Mbuh pie carane’ ia seperti menghadirkan vitalitas orang kebanyakan yang menggetarkan.

Mbuh Pie Carane, karya Nugrho dipamerkan di ruang pamer Tembi Rumah Budaya, foto: Ons Untoro
Mbuh Pie Carane, karya Nugroho

Kalimat ‘Mbuh pie carane’, yang menjadi judul salah satu lukisan karyanya, kalau diterjemahkan secara bebas berbunyi: entah bagaimana caranya. Dari lukisan ini, kita seperti diajak mengerti bagaimana orang kecil memperjuangkan hidupnya agar tidak padam.

I Ketut Santosa hadir berbeda dari 3 perupa lainnya. Ketut, yang nafas hidupnya bersentuhan dengan seni lukis kaca tradisional; dalam karyanya tidak menghuni tradisi, tetapi seperti dikatakan Mike Susanto, ia telah ‘melompat pagar’. Pada karya Ketut, seperti karya 3 perupa lainnya, memasuki area kontomporer dan kaca menjadi pilihan media untuk mendistribusikan ide-idenya.

Pameran yuk ..!

Naskah dan foto: Ons Untoro

Bale Rupa Pameran

Latest News

  • 16-08-14

    Ketoprak yang Dihadi

    Pertunjukan ketoprak kolosal ini melibatkan sekitar 400 pemain dan digarap oleh tim sutradara yaitu Susilo Nugroho, Widayat, Puntung CM Pujadi,... more »
  • 16-08-14

    Tepas, Penyala Api T

    Fungsi alat dapur ini sangat penting yaitu untuk membuat masakan bisa cepat matang. Untuk itulah tepas, termasuk alat dapur yang selalu hadir... more »
  • 16-08-14

    Sejarah Kebudayaan B

    Judul : Sejarah Kebudayaan Bali. Kajian Perkembangan dan Dampak Pariwisata  Penulis : Supratikno Raharjo, dkk  Penerbit : Depdikbud... more »
  • 16-08-14

    Orang Wuku Prangbaka

    Orang Wuku Prangbakat cenderung kaku, pemalu, pendiriannya mudah berubah. Ia juga tidak mudah melepaskan harta yang sudah menjadi miliknya. Namun, ia... more »
  • 14-08-14

    Museum Khusus Jender

    Rumah itu pernah menjadi kediaman Jenderal Sudirman dan keluarga sejak 18 Desember 1945—19 Desember 1948, saat ia menjabat sebagai Panglima Besar... more »
  • 14-08-14

    Ngabuk Wong Meteng

    Pepatah ini mengajarkan bahwa janganlah menyakiti orang yang sudah dalam kondisi atau keadaan lemah. Menyakiti orang yang lemah (fisik, materi,... more »
  • 14-08-14

    Penyair Senior Memba

    Ini kali, penyair yang sudah dikenal sejak dekade 1970-an, dan sampai sekarang masih terus menulis puisi, hadir di Tembi Rumah Budaya untuk... more »
  • 14-08-14

    Jembatan Winongo, Si

    Jembatan ini menjadi sarana penghubung antara Dusun Niten dan Dusun Glondong. Diduga jembatan ini dibangun seiring dengan dengan pembangunan beberapa... more »
  • 13-08-14

    Kesadaran Nasional.

    Judul : Kesadaran Nasional. Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Jilid I Penulis : Prof. Dr. Slamet Muljana Penerbit : LKiS, 2008, Yogyakarta... more »
  • 13-08-14

    Pameran Seni Rupa Ib

    Pameran di Bentara Budaya Yogyakarta ini, pada 8-17 Agustus 2014, lebih untuk menemukan strategi visual yang dapat menggambarkan keterlibatan dan... more »